Satu pepatah manis yang dituliskan oleh abangku, Raymond Owen Narahawarino, pada 24 November 2016 lalu di facebooknya bunyinya begini, "Perang adalah politik dengan darah dan politik adalah perang tanpa darah." Sekali lagi, perang adalah politik dengan darah, sementara politik adalah perang tanpa darah. Ada dua istilah penting yang saling berkaitan dalam pepatah sederhana itu, perang dan politik.
Lazimnya, orang mengenal perang sebagai pertikaian dengan mengandalkan senjata, alat tajam atau tumpul untuk menunjukkan kekuasaannya. Termasuk di sana adalah kekuatannya. Secara fisik, orang hendak menunjukkan dominasinya terhadap pihak lain.
Dalam perkembangannya, perang tidak lagi terbatas pada kekuatan fisik tetapi juga non fisik. Barangkali penghargaan terhadap nilai kemanusiaan memudarkan 'kekuatan fisik' yang diandalkan dalam perang. Sebaliknya kekuatan non fisik ditonjolkan. Meski begitu, kecenderungan untuk memanfaatkan kekuatan fisik pun masih ada. Ingat, perang ini berlaku pada saat mana pun bila orang telah kehilangan sabar dan kebaikannya.
Yunani sebagai pencetus 'politik'
Politik. Politik itu apa? Politik, seperti pepatah di atas, adalah perang tanpa darah. Politik itu usaha, cara, seni, ilmu untuk mencapai kekuasaan secara hukum, pun tanpa hukum. Begitu kira-kira yang dimaksudkan dalam pengertian Bahasa Indonesia. Namun, lebih dalam dari itu, melihat tujuannya, politik dimaksudkan untuk kesejahteraan bersama, bonum comune.
Bila menelusuri kata "politik" itu maka orang akan menemukan bahwa ini adalah istilah serapan dari bangsa lain, yaitu Yunani. Orang-orang Yunani sangat dekat dengan istilah polis, yang berarti negara atau kota kecil. Namun sesungguhnya istilah ini ditujukan kepada orang-orang yang berdiam di dalam negara atau kota itu, yaitu warga. Lebih jauh dari itu, istilah polis menjangkau banyak hal, tidak sebatas negara atau kota, melainkan juga sifat-sifat yang terkandung di dalamnya.
Sebut saja, dalam dunia kelembagaan, istilah polis digunakan untuk menerangkan otonomisasi (nomos: hukum). Orang Yunani pasti berbangga diri apabila ia diperintahkan dengan hukum, bekerja berdasarkan aturan dan berlaku sesuai undang-undang. Inilah otonomisasi Yunani dalam suatu negara atau kota mereka. Juga, istilah polis digunakan untuk menerangkan kemampuan mereka berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain, tetapi memiliki daya untuk mengembangkan negara atau kotanya. Yang terakhir, polis disematkan juga untuk memperjelas lembaga-lembaga seperti "Sidang Umum," semacam tempat dan kesempatan untuk mendengarkan aspirasi semua warga negara atau kota. Ini yang kemudian melahirkan demokrasi, sebuah sistem pemerintahan yang di dalamnya rakyat berkuasa secara penuh. Di Indonesia, sitem pemerintahan yang dianut adalah demokrasi, mengambil alih apa yang diciptakan oleh bangsa Yunani.
Indonesia pencetus apa?
Ya... Indonesia 'hanya' mengadopsi apa yang menjadi milik bangsa lain. Ia tidak sekedar mengadopsi, melainkan menganggap politik sebagai sarana terbaik untuk menciptakan negara yang merdeka dan makmur. Maka politik adalah kendaraan untuk membebaskan dan terlebih mensejahterakan semua warga negara Indonesia, dengan demokrasi sebagai tulang punggungnya.
Tujuan politik adalah baik, yaitu menciptakan keadaan aman dan nyaman, keadaan sejahtera, dengan adanya penguasa yang dipilih oleh rakyat (demokrasi). Penguasa, yaitu pemerintah, berkuasa untuk menentukan kebijakan yang menghasilkan kemakmuran bersama, bukan kemakmuran pribadi. Dengan demokrasi, warga negara atau kota memilih penguasa (pemimpin) yang mengabdi untuknya, bukan memerasnya. Warga negara atau kota yang baik, dalam urusan politik, sudah barang tentu memilih penguasa yang baik pula. Haknya sebagai warga negara jangan sampai dikebiri sendiri atau diberikan untuk dikebiri. Ingat (bangsa Yunani), politik itu untuk mencerdaskan warga negara atau kota, bukan membodohi.
Akhir-akhir ini, politik negara ini terganggu oleh niat busuk beberapa orang. Niat busuk sudah tentu akan melahirkan kebusukan dan ini tidak menyenangkan, apalagi mensejahterakan. Kita tidak menghendaki keburukan atau kebusukan itu, melainkan kebaikan bersama, bonum comune.
Kembali ke pepatah di atas, perang adalah politik dengan darah dan politik adalah perang tanpa darah. Kita tidak membahas perang sebagai hal yang menakutkan tetapi hal yang wajar dalam batas-batas manusiawi. Perang membawa serta perlawanan, contra, pertikaian, demikian juga politik. Akan tetapi politik yang kita manfaatkan adalah politik sebagaimana mestinya, tanpa menumpahkan darah tetapi melahirkan penguasa bijaksana. Perang adalah hal yang wajar tetapi memilih penguasa yang wajar adalah lebih penting. Politik adalah perang yang wajar tetapi mesti melahirkan penguasa yang sudah banyak belajar, cerdas dan pintar.
Baik perang dan politik, keduanya akan menyisakan 'korban' tetapi pihak yang menang sudah pasti dapat berkuasa dan dijamin memajukan negara atau kota. Masalahnya di mana? Masalahnya ada pada warga negara atau kota sendiri. Demokrasi menjamin kedaulatan warga negara atau kota, itulah politik sesungguhnya. Andaikata warga negara atau kota dapat menentukan pilihannya berdasarkan hukum, aturan dan nuraninya, niscaya ia menciptakan negara atau kota yang otonom, berdikari dan demokratif. Dengan demikian warga negara atau kota sendiri menentukan kesejahteraannya melalui penguasa yang baik, jujur, adil dan bijaksana. Ini adalah politik demokratif yang melahirkan kesejahteraan bersama.
Indonesia merdeka berkat perang gerilyanya yang mempesona dan menakutkan; perang yang menumpahkan darah penjajah, pun para pahlawan sendiri. Kini, kita tidak lagi berperang dalam arti yang sesungguhnya. Perang yang sesungguhnya telah kita lewati dan menjadi sejarah suram sekaligus sejarah keemasan, yaitu merdeka. Yang kita hadapi saat ini adalah perang kebebasan, kesejahteraan yang diwujudkan dalam politik bangsa. Politik yang baik mengundang warga negara atau kota untuk melihat dirinya sendiri sebagai penguasa yang menentukan arah dan tujuan bangsanya sendiri berdasarkan ketetapan nuraninya. Politik yang baik mementingkan kebaikan bersama, bukan individu. Politik yang baik adalah kita sendiri, warga negara atau kota, yang membangun negeri secara bersama-sama. Dulu kita berperang untuk merdeka, sekarang kita berpolitik untuk merdeka. Berpolitiklah sebagaimana mestinya! #MajulahIndonesiaku
Sumber bacaan: Prof. Dr. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani.
In te Domine speravi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar