Menerima hukaman rajam bukanlah sesuatu yang
menyenangkan, karena akhir dari hukuman itu sendiri adalah kematian. Anda akan
dirajam dengan batu oleh banyak orang jika kedapatan berbuat zinah. Anda bisa
membayangkan betapa "kejam"nya hukuman itu. Pastilah Anda menahan
malu terlebih dahulu karena kebobrokanmu diketahui banyak orang, setelah itu
Anda diadili hingga nyawa tidak dimiliki lagi.
Persoalannya, siapa yang berhak mengambil batu dan
merajam si pezinah? Siapa yang layak menggenggam batu untuk melempari si
pendosa sampai mati?
Simaklah kata-kata Yesus yang luar biasa bijaksana ini:
"Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah
ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu" (Yoh. 8:7).
Perempuan berzinah itu menjadi pusat perhatian
orang-orang yang berkumpul di Bait Allah. Ia siap diadili sesuai hukum Taurat
Musa. Yesus menanggapi dengan santai; Ia membungkuk dan menulis di tanah.
Alih-alih menjawab pertanyaan yang terus-menerus datang kepadaNya, Ia justru
melakukan hal lain, menulis dengan jariNya di tanah. "Ah.. Yesus ini buat
penasaran aja!"
Sekarang Ia bersuara, memberikan pernyataan bijaksana di
atas. Mereka bertanya dan Yesus balik meminta mereka untuk merajam. Silahkan
rajam perempuan itu sesuai hukum yang berlaku. Perempuan itu terbukti berdosa,
rajamlah dia dengan batu yang sudah kamu siapkan. Mari kita saksikan
kematiannya. Sambil menunggu reaksi mereka, Yesus membungkuk dan menulis lagi
di tanah dengan jariNya sendiri. Yesus menunggu dan menunggu. Tetapi yang
terjadi ialah mereka pergi satu demi satu, mulai dari yang tua (mungkin hingga
yang termuda).
Apa gerangan yang ada di balik kisah perempuan berzinah
ini?
Adegan pertama ialah orang-orang menemukan perempuan ini
berbuat zinah, ia ditangkap lalu dibawakan kepada Yesus untuk diadili sesuai
HukumTaurat Musa. Benar, Musa menghendaki agar perempuan yang berbuat dosa
jenis ini dirajam dengan batu karena ia tidak layak menjadi perempuan Yahudi.
Ia mempermalukan bukan saja dirinya sendiri tetapi bangsa Yahudi secara
keseluruhan, sebab mereka percaya kepada YAHWEH yang "keras" dan
membuat aturan keagamaan yang ketat. Juga, perempuan tempatnya di dapur, bukan
di tempat lain atau bebas mengekspresikan diri, apalagi berbuat zinah seperti
itu. Maka adalah tabu bila perempuan berkeliaran dan menjadikan dirinya sebagai
alat pemuas nafsu kaum lelaki.
Ada adegan terselubung di balik kisah ini. Orang banyak
itu ingin menjebak Yesus dengan peristiwa dan pertanyaan yang diajukan
kepadaNya. Mencari kesalahanNya? Itu sudah pasti! Bisa jadi, perempuan ini
hanya merupakan alat untuk menangkap Yesus karena Ia melawan Hukum Musa. Licik
benar orang-orang itu. Mereka tidak menyadari bahwa yang hendak mereka jebak
adalah lebih daripada Musa. Kegagalan mereka tentang hal ini membuat mereka
sendiri menjadi malu.
Adegan berikutnya ialah Yesus membungkuk dan menulis di
tanah dengan jariNya. Apakah ini adegan tambahan? Tidak juga! Ini malahan
sangat realistis dan memperdalam makna peristiwa ini. Kalau orang-orang itu
menunjuk Hukum Musa sebagai patokan, Yesus justru kembali kepada hukum asali,
dimana penciptaan manusia (termasuk perempuan itu) diprakarsai dengan tanah.
Tanah adalah simbol kerapuhan, tanda kelemahan manusia, prasyarat kestuan
manusia dengan Allah yang bebas dari kerapuhan dan kelemahan. Hukum Musa untuk
merajam orang berdosa seperti ini adalah benar, tetapi orang harus berbalik dan
memandang dirinya sendiri terlebih dahulu dan bertanya, "dari mana ia
berasal?" Adegan ini perlu ada agar orang menempatkan dirinya sendiri pada
belaskasih dan kerahiman Allah Pencipta, bukan salah menerapkan hukum atau
berlaku semena-mena.
Adegan inti dari peristiwa ini adalah dialog Yesus dengan
perempuan itu. "Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang
yang menghukum engkau?" Perempuan itu berkata kepada Tuhan, "Tidak
ada, Tuhan." Lalu kata Tuhan: "Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah,
dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang" (Yoh. 8:10-11). Inilah
klimaks dari peristiwa "zinah" yang dihadapi perempuan itu. Yesus
berdiri sebagai Hukum yang terutama dan mengadili sang perempuan itu. Namun
sebelumnya, Ia harus mengadili orang banyak yang merasa diri paling benar dan
paling taat pada hukum. Padahal, mereka kebablasan dalam meletakkan hukum
berdasarkan hati mereka yang telah mati, tidak peka dan gampang mempersalahkan.
Pergilah, Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah tapi
jangan berbuat dosa lagi! Berhadapan dengan Tuhan, Ia akan memberikan
pengampunan dosa, mengadili dengan kasihNya dan menjadikan kita sebagai manusia
baru. Ia bukannya tidak melihat dosa, melainkan mengutamakan kasihNya supaya
dosa dengan sendirinya mundur dan meleleh bersama dengan tobat yang kita
usahakan. Mari ikutlah Yesus dalam jalan pengampunan menuju surga keabadian.
IN TE DOMINE SPERAVI, NON CONFUNDAR IN AETERNUM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar