Sabtu, 25 Maret 2017

Sisi Lain dari “Tujuh Puluh Kali Tujuh Kali”


Romo Böhm yang memimpin Ekaristi pagi tadi bersaksi demikian, “Sejak kecil saya sudah belajar untuk menaruh Yesus dalam segala pengalaman hidup saya. Saat berjumpa dengan pengalaman yang ini, bagaimana Yesus berbicara tentang hal ini? Apa yang dikehendaki Yesus dengan kejadian ini? begitu seterusnya sampai sekarang.” Dan ketahuilah, beliau adalah panutan hebat di sini, minimal bagi saya secara pribadi.

Maksudnya jelas, agar kehendak Tuhanlah yang terjadi atas hidup ini. Apa kehendak Tuhan kepada Petrus yang bertanya, “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” (Mat. 18:21). “Bukan! Aku berkata kepadamu: bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali” (Mat. 18:22).

“Mengampuni sampai tujuh puluh kali tujuh kali? Bagaimana mungkin? Bukankah ini terlihat sangat rumit? Oh Tuhan, saya tak sanggup!”

Memang Anda tak sanggup bila mengandalkan kemampuan sendiri, sebab manusia pada hakikatnya terbatas, lemah, dan tidak bisa bekerja sendiri. Ia “harus” bekerja sama dengan Allah, Tuhan, yang Mahabelaskasih. Kita sepakat bahwa mengampuni sampau tujuh puluh kali tujuh kali merupakan pengampunan yang tanpa batas, terus-menerus, tiada hentinya. Tetapi dari sisi lain, kita membutuhkan rahmat Allah untuk membantu kita mewujudkan pengampunan yang tanpa batas itu.

Yesus menghubungkan tindakan mengampuni sampai tujuh puluh kali tujuh kali ini dengan Kerajaan Sorga. Pemilik Kerajaan Sorga itu adalah Allah sendiri, yang hendak mengadakan perhitungan dengan hamba-hambaNya. Salah seorang hamba ternyata berhutang kepadaNya, dan sesegera mungkin hamba itu harus melunaskannya. Akan tetapi, sang hamba itu tidak mampu melunaskan hutangnya sehingga sujud menyembah kepadaNya lalu berkata: “Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan.” Apa yang terjadi setelah itu? Allah tergerak hati oleh belas kasihan akan hambaNya itu, sehingga Ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya.

Perhatikanlah, di dalam Kerajaan Sorga ada hati yang tergerak oleh belas kashian. Pemilik hati itu adalah Allah. Belas kasihan Allah membebaskan dan menghapuskan hutang hamba itu. Tidak ada sisa, malahan bersih; hutangnya dilupakan dan tidak perlu diungkit-ungkit lagi. Inilah arti terdalam dari pengampunan yang tanpa batas: “tujuh puluh kali tujuh kali.” Sakramen Tobat di dalam Gereja memberikan rahmat ini, sebab Allah mengampuni dengan segenap hatiNya.

Sangat disayangkan karena setelah semua itu, hamba itu tidak belajar dari Allah yang telah memberi pengampunan kepadanya. Ia pergi dan mendapati seorang hamba lain, yang kebetulan berhutang kepadanya. Ia menangkap dan mencekik kawannya itu dan menyuruh membayar hutangnya. Meski kawannya sudah bersujud dan memohon, tetap hamba itu bersih keras dan menyerahkan kawannya ke dalam penjara sampai ia melunaskan hutangnya. Di sinilah keterbatasan manusia, tidak mampu mengampuni dan membebaskan, apalagi menghapuskan hutang. Hati hamba itu masih tertutup, belum tergerak oleh belas kasihan.

“Bukankah engkaupun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau? Maka Bapa-Ku yang di Sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu” (Mat. 18:33,35).
“Mengampuni sampai tujuh puluh kali tujuh kali” hanya lahir dari hati yang berbelas kasihan, hati yang tidak lagi memikirkan kesalahan orang, melainkan melihat orang lain sebagai sesamanya. “Engkau masih tak sanggup?” Belajarlah dari Yesus, yang menunjukkan secara nyata kesungguhan belas kasihan itu, yang rela disalibkan untuk semua orang dan mendoakan para penjahat dari kayu salib: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk. 23:34).

Rasul Yohanes menegaskan supaya kita “menjadi anak” di depan Allah. Sebab syarat untuk masuk ke dalam Kerajaan Sorga adalah orang harus “dilahirkan kembali” (Yoh. 3:7), “dilahirkan dari Allah” (Yoh. 1:13), supaya “menjadi anak Allah” (Yoh. 1:12) [KGK 526]. Untuk memenuhi pengampunan “tujuh puluh kali tujuh kali” ini, orang mesti menjadi anak Allah, belajar dariNya, memohonkan rahmatNya, mendengarkan Roh Kudus di dalam hatinya, memiliki hati yang berbelas kasihan, supaya sanggup melaksanakan kehendakNya itu. Mengampuni sampai tujuh puluh kali tujuh kali. Ketahuilah, ini adalah tugas dan kewajiban hamba-hamba Kerajaan Sorga.


PAX DOMINI SIT SEMPER VOBISCUM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar