Rabu, 29 Maret 2017

Kesaksian Yesus tentang Diri-Nya (Yoh. 5:17-30)


Pertentangan orang-orang Yahudi dengan Yesus mengenai Sabat terus berlanjut. Bagi orang-orang Yahudi, Yesus telah melanggar hari Sabat, hari yang dikhususkan bagi Allah, dimana pada saat itu Allah beristirahat setelah melakukan karya Penciptaan. Yesus melakukan tindakan penyembuhan (Yoh. 5:1-18) dan sekaligus Ia “meniadakan” hari Sabat (Yoh. 5:18a). Ini menambah luka dalam diri orang-orang Yahudi, sebab mereka menganggap Yesus “keterlaluan” dan tidak sejalan dengan hukum Taurat. Lebih parah lagi, mereka menanggap Yesus menyamakan diri-Nya dengan Allah (Yoh. 5:18b): “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Akupun berkerja juga.” Suatu tamparan keras bagi orang-orang Yahudi yang berpegang teguh pada hukum Taurat.

Jelas orang-orang Yahudi sangat marah, karena selain Yesus seolah-olah menghapus hari Sabat yang mereka agung-agungkan secara legalistis, Ia pun menghujat Allah sebagai Bapa-Nya, yang kesimpulannya Yesus adalah Allah. Yoh. 15:17 sebenarnya menjelaskan pertentangan itu. Dalam pengertian orang-orang Yahudi, karya penciptaan Allah yang “sudah selesai” (Kej. 2:2 dst.) masih terus berlangsung, sementara hari Sabat diperingati sebagai hari istirahatnya Allah; tidak boleh ada aktivitas lain pada hari itu selain beribadah dengan maksud menyucikan hari hari yang bersangkutan. Artinya, Allah masih terus menyelenggarakan dunia, kecuali pada hari Sabat. Ini semacam pendamaian yang dibuat oleh orang-orang Yahudi sendiri terhadap karya Penciptaan Allah dan hari Sabat. Akan tetapi, Yesus justru meluruskan pengertian itu; bahwa memang Allah telah menciptakan dunia dan beristirahat (Sabat), tetapi konsekuensi langsung dari “berakhirnya” penciptaan Allah itu adalah penghakiman yang tidak berakhir. Benar bahwa Allah menciptakan dunia dan terus-menerus menyelenggarakan dunia, tetapi penghakiman dari Allah juga terus dijalankan pada waktu yang sama. “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga” (Yoh. 5:17). Perkataan Yesus ini yang menimbulkan kemarahan orang-orang Yahudi. Sebab, di satu sisi Yesus meniadakan hari Sabat, di sisi lain Ia menyamakan diri dengan Allah dan berhak atas hari Sabat itu (Yoh. 5:18). Dengan demikian, Yesus menyatakan diri sebagai Hakim Tertinggi yang berkuasa mengintervensi hari Sabat (bdk. Luk. 6:5 dan Mat. 12:1-8) sekaligus menunjukkan bahwa Dia adalah Allah.

Luk. 6:5
Kata Yesus lagi kepada mereka (beberapa orang Farisi): “Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat.”

Mat. 12:1-8 (khususnya ay. 8)
“Karena Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat.”


Sudah pasti orang-orang Yahudi ‘kebakaran jenggot’ karena mengaggap Yesus sebagai batu sandungan dengan menyatakan diri sebagai Allah. Maka jadilah ‘jenggot’ mereka ‘hangus’ (bukan saja terbakar) karena wejangan Yesus setelah itu (Yoh. 19-46) sungguh menyakitkan hati mereka. Wejangan itu berisi kesaksian Yesus tentang diri-Nya sendiri sebagai Anak Bapa. Ada tiga hal pokok dalam wejangan tentang kesaksian diri Yesus itu. Pertama, Bapa telah menyerahkan kepada Anak kekuasaan untuk memberi hidup (Yoh. 5:19-30); kedua, Bapa memberi kesaksian tentang Anak melalui Yohanes Pembaptis dan melalui “pekerjaan” yang Bapa sendiri kerjakan dalam diri Anak; ketiga, kesaksian itu disampaikan Bapa melalui Kitab Suci (Musa – Yoh. 31-47). Isi pokok kesaksian Yesus ini seharusnya diketahui oleh orang-orang Yahudi, namun mereka sama sekali tidak tahu-menahu. 


Yesus menjelaskan bahwa penghakiman atas dunia akan dilaksanakan oleh diri-Nya sendiri, yaitu Anak, sebab Bapa telah menyerahkan penghakiman itu kepada-Nya (Yoh. 5:22). Karenanya, menyangkut hidup dan matinya seseorang, Anaklah yang berkuasa atas itu; Dialah yang menentukan itu sebagai Hakim Tertinggi. Tidak heran, Yesus membuat mujizat dengan membangkitkan orang-orang mati, baik waktu Ia ada dunia maupun saat kedatanganNya kembali untuk kedua kalinya atau saat parusia (2Tes. 1:10; Tit. 2:13). Maka karya penciptaan yang dikerjakan Allah sejak semula terus dikerjakan oleh Anak sambil melakukan penghakiman atas karya penciptaan itu hingga akhir zaman. Yohanes Pembaptis telah menyatakan siapa Yesus (Yoh. 5:33) tetapi orang-orang Yahudi tidak dapat melihat-Nya sebagai Dia yang datang dari Bapa. Juga, penyataan tentang siapa Yesus sebenarnya telah diperlihatkan oleh diri-Nya sendiri melalui ‘pekekerjaan’ yang dilakukan-Nya (Yoh. 5:36), tetapi orang-orang Yahudi tetap tidak dapat melihat-Nya. Pun, dalam Kitab Suci dinyatakan siapa sesungguhnya yang akan datang dari Bapa (Yoh. 5:39), tetapi orang-orang Yahudi tetap pada pendirian mereka itu: tidak mengakui Yesus sebagai Anak Bapa. Mereka tidak mau datang kepada Yesus untuk memperoleh hidup dari-Nya (Yoh. 5:39).

Kesaksian Yesus tentang diri-Nya sendiri memberikan dua penegasan penting ini. Pertama, “Ia adalah Hakim Tertinggi” sejak semula sampai kekal, pada akhir zaman (Yoh. 5:26-30; 12:48; bdk. Mat. 25:31-46; Rom. 2:6+.). Kedua, “semua orang akan dihakimi menurut kepercayaannya” (Yoh. 3:11+.); penghakiman ini dimulai dengan kedatangan Anak (Yoh. 5:25; 12:31). Penghakiman ini lebih-lebih menyangkut penerimaan atau penolakan terhadap Yesus (Yoh. 3:18-21; 16:8-11). Ia akan menjadi Juruselamat bagi semua orang yang tidak menolak-Nya (8:15; 12:47). Maka orang-orang percaya yang mati akan memperoleh kehidupan di dalam Dia. Dengan kata lain, mereka yang mati secara rohani akan menerima penghakiman yang layak di hadapan-Nya (Yoh. 5:25). Itulah sebabnya, ketika tiba hari kebangkitan orang-orang mati, Yesus akan tampil sebagai Hakim untuk memisahkan orang-orang baik dari yang jahat (Yoh. 5:28) – (bdk. Mat. 22:29-32).


Orang Katolik yang terkasih, Yesus adalah utusan Bapa, Anak Bapa yang terkasih, sebagaimana dalam pembaptisan-Nya di sungai Yordan dan peristiwa transifigurasi-Nya di gunung Tabor hal itu dinyatakan. Iman kita kepada Kristus adalah jaminan keselamatan yang pasti. Ia adalah Hakim Tertinggi, yang selain melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dikehendaki Bapa, juga akan mengadili kita pada hari penghakiman, yaitu akhir zaman. Konsekuensinya, kita harus menerima Dia sebagai Juruselamat dan melakukan apa yang dilakukan-Nya dan diperintahkan-Nya. Iman memang menjadi jaminan keselamatan, tetapi perbuatanlah yang mengungkapkan iman itu. Beginilah Gereja mengajarkan kita tentang pengadilan terakhir itu:

“Pengadilan terakhir akan berlangsung pada kedatangan kembali Kristus yang mulia. Hanya Bapa yang mengetahui hari dan jam, Ia sendiri menentukan, kapan itu akan terjadi. Lalu, melalui Putera-Nya Yesus Kristus Ia akan menilai secara definitif seluruh sejarah. Kita akan memahami arti yang terdalam dari seluruh karya ciptaan dan seluruh tata keselamatan dan akan mengerti jalan-jalan-Nya yang mengagumkan, yang di atasnya penyelenggaraan ilahi telah membawa segala sesuatu menuju tujuannya yang terakhir. Pengadilan terakhir akan membuktikan bahwa keadilan Allah akan menang atas segala ketidak-adilan yang dilakukan oleh makhluk ciptaanNya, dan bahwa cinta-Nya lebih besar dari kematian” (KGK 1040).

Kesaksian Yesus tentang diri-Nya mendorong kita untuk tetap percaya kepada-Nya, dan sekaligus membantu kita membangun dunia dengan kasih-Nya sambil kita mempersiapkan diri menyambut kedatangan-Nya kembali. Rahmat-Nya yang senantiasa Ia alirkan di dalam Gereja menjadi jalan satu-satunya menuju kepada-Nya. Maka baharuilah diri kita sendiri dan dunia ini. Sebab cinta dan pengorbanan-Nya telah Ia tunjukkan supaya kita mati di dalam Dia dan bangkit di dalam Dia pula. Maka marilah kita memberi kesaksian tentang Dia sekarang dan sampai selama-lamanya.

Sumber utama: Kitab Suci Katolik – Pax Domini sit semper vobiscum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar