Pertentangan orang-orang
Yahudi dengan Yesus mengenai Sabat terus berlanjut. Bagi orang-orang Yahudi,
Yesus telah melanggar hari Sabat, hari yang dikhususkan bagi Allah, dimana pada
saat itu Allah beristirahat setelah melakukan karya Penciptaan. Yesus melakukan
tindakan penyembuhan (Yoh. 5:1-18) dan sekaligus Ia “meniadakan” hari Sabat
(Yoh. 5:18a). Ini menambah luka dalam diri orang-orang Yahudi, sebab mereka
menganggap Yesus “keterlaluan” dan tidak sejalan dengan hukum Taurat. Lebih
parah lagi, mereka menanggap Yesus menyamakan diri-Nya dengan Allah (Yoh. 5:18b):
“Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Akupun berkerja juga.” Suatu tamparan
keras bagi orang-orang Yahudi yang berpegang teguh pada hukum Taurat.
Jelas orang-orang Yahudi
sangat marah, karena selain Yesus seolah-olah menghapus hari Sabat yang mereka
agung-agungkan secara legalistis, Ia pun menghujat Allah sebagai Bapa-Nya, yang
kesimpulannya Yesus adalah Allah. Yoh. 15:17 sebenarnya menjelaskan
pertentangan itu. Dalam pengertian orang-orang Yahudi, karya penciptaan Allah yang
“sudah selesai” (Kej. 2:2 dst.) masih terus berlangsung, sementara hari Sabat
diperingati sebagai hari istirahatnya Allah; tidak boleh ada aktivitas lain
pada hari itu selain beribadah dengan maksud menyucikan hari hari yang
bersangkutan. Artinya, Allah masih terus menyelenggarakan dunia, kecuali pada
hari Sabat. Ini semacam pendamaian yang dibuat oleh orang-orang Yahudi sendiri
terhadap karya Penciptaan Allah dan hari Sabat. Akan tetapi, Yesus justru meluruskan
pengertian itu; bahwa memang Allah telah menciptakan dunia dan beristirahat
(Sabat), tetapi konsekuensi langsung dari “berakhirnya” penciptaan Allah itu
adalah penghakiman yang tidak berakhir. Benar bahwa Allah menciptakan dunia dan
terus-menerus menyelenggarakan dunia, tetapi penghakiman dari Allah juga terus
dijalankan pada waktu yang sama. “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Akupun
bekerja juga” (Yoh. 5:17). Perkataan Yesus ini yang menimbulkan kemarahan
orang-orang Yahudi. Sebab, di satu sisi Yesus meniadakan hari Sabat, di sisi
lain Ia menyamakan diri dengan Allah dan berhak atas hari Sabat itu (Yoh.
5:18). Dengan demikian, Yesus menyatakan diri sebagai Hakim Tertinggi yang
berkuasa mengintervensi hari Sabat (bdk. Luk. 6:5 dan Mat. 12:1-8) sekaligus
menunjukkan bahwa Dia adalah Allah.
Luk. 6:5
Kata Yesus lagi kepada mereka (beberapa orang Farisi): “Anak Manusia adalah
Tuhan atas hari Sabat.”
Mat. 12:1-8 (khususnya ay.
8)
“Karena Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat.”
Sudah pasti orang-orang
Yahudi ‘kebakaran jenggot’ karena mengaggap Yesus sebagai batu sandungan dengan
menyatakan diri sebagai Allah. Maka jadilah ‘jenggot’ mereka ‘hangus’ (bukan
saja terbakar) karena wejangan Yesus setelah itu (Yoh. 19-46) sungguh
menyakitkan hati mereka. Wejangan itu berisi kesaksian Yesus tentang diri-Nya
sendiri sebagai Anak Bapa. Ada tiga hal pokok dalam wejangan tentang kesaksian
diri Yesus itu. Pertama, Bapa telah menyerahkan kepada Anak
kekuasaan untuk memberi hidup (Yoh. 5:19-30); kedua, Bapa memberi kesaksian tentang Anak melalui Yohanes
Pembaptis dan melalui “pekerjaan” yang Bapa sendiri kerjakan dalam diri Anak; ketiga, kesaksian itu disampaikan Bapa
melalui Kitab Suci (Musa – Yoh. 31-47). Isi pokok kesaksian Yesus ini
seharusnya diketahui oleh orang-orang Yahudi, namun mereka sama sekali tidak
tahu-menahu.
Yesus menjelaskan bahwa
penghakiman atas dunia akan dilaksanakan oleh diri-Nya sendiri, yaitu Anak, sebab
Bapa telah menyerahkan penghakiman itu kepada-Nya (Yoh. 5:22). Karenanya,
menyangkut hidup dan matinya seseorang, Anaklah yang berkuasa atas itu; Dialah
yang menentukan itu sebagai Hakim Tertinggi. Tidak heran, Yesus membuat mujizat
dengan membangkitkan orang-orang mati, baik waktu Ia ada dunia maupun saat
kedatanganNya kembali untuk kedua kalinya atau saat parusia (2Tes. 1:10; Tit. 2:13). Maka karya penciptaan yang
dikerjakan Allah sejak semula terus dikerjakan oleh Anak sambil melakukan penghakiman
atas karya penciptaan itu hingga akhir zaman. Yohanes Pembaptis telah
menyatakan siapa Yesus (Yoh. 5:33) tetapi orang-orang Yahudi tidak dapat
melihat-Nya sebagai Dia yang datang dari Bapa. Juga, penyataan tentang siapa
Yesus sebenarnya telah diperlihatkan oleh diri-Nya sendiri melalui
‘pekekerjaan’ yang dilakukan-Nya (Yoh. 5:36), tetapi orang-orang Yahudi tetap
tidak dapat melihat-Nya. Pun, dalam Kitab Suci dinyatakan siapa sesungguhnya
yang akan datang dari Bapa (Yoh. 5:39), tetapi orang-orang Yahudi tetap pada
pendirian mereka itu: tidak mengakui Yesus sebagai Anak Bapa. Mereka tidak mau
datang kepada Yesus untuk memperoleh hidup dari-Nya (Yoh. 5:39).
Kesaksian Yesus tentang
diri-Nya sendiri memberikan dua penegasan penting ini. Pertama, “Ia adalah Hakim Tertinggi” sejak semula sampai kekal,
pada akhir zaman (Yoh. 5:26-30; 12:48; bdk. Mat. 25:31-46; Rom. 2:6+.). Kedua, “semua orang akan dihakimi
menurut kepercayaannya” (Yoh. 3:11+.); penghakiman ini dimulai dengan
kedatangan Anak (Yoh. 5:25; 12:31). Penghakiman ini lebih-lebih menyangkut
penerimaan atau penolakan terhadap Yesus (Yoh. 3:18-21; 16:8-11). Ia akan
menjadi Juruselamat bagi semua orang yang tidak menolak-Nya (8:15; 12:47). Maka
orang-orang percaya yang mati akan memperoleh kehidupan di dalam Dia. Dengan
kata lain, mereka yang mati secara rohani akan menerima penghakiman yang layak
di hadapan-Nya (Yoh. 5:25). Itulah sebabnya, ketika tiba hari kebangkitan
orang-orang mati, Yesus akan tampil sebagai Hakim untuk memisahkan orang-orang
baik dari yang jahat (Yoh. 5:28) – (bdk. Mat. 22:29-32).
Orang Katolik yang
terkasih, Yesus adalah utusan Bapa, Anak Bapa yang terkasih, sebagaimana dalam
pembaptisan-Nya di sungai Yordan dan peristiwa transifigurasi-Nya di gunung
Tabor hal itu dinyatakan. Iman kita kepada Kristus adalah jaminan keselamatan
yang pasti. Ia adalah Hakim Tertinggi, yang selain melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang dikehendaki Bapa, juga akan mengadili kita pada hari
penghakiman, yaitu akhir zaman. Konsekuensinya, kita harus menerima Dia sebagai
Juruselamat dan melakukan apa yang dilakukan-Nya dan diperintahkan-Nya. Iman
memang menjadi jaminan keselamatan, tetapi perbuatanlah yang mengungkapkan iman
itu. Beginilah Gereja mengajarkan kita tentang pengadilan terakhir itu:
“Pengadilan
terakhir akan berlangsung pada kedatangan kembali Kristus yang mulia. Hanya
Bapa yang mengetahui hari dan jam, Ia sendiri menentukan, kapan itu akan
terjadi. Lalu, melalui Putera-Nya Yesus Kristus Ia akan menilai secara
definitif seluruh sejarah. Kita akan memahami arti yang terdalam dari seluruh
karya ciptaan dan seluruh tata keselamatan dan akan mengerti jalan-jalan-Nya
yang mengagumkan, yang di atasnya penyelenggaraan ilahi telah membawa segala
sesuatu menuju tujuannya yang terakhir. Pengadilan terakhir akan membuktikan
bahwa keadilan Allah akan menang atas segala ketidak-adilan yang dilakukan oleh
makhluk ciptaanNya, dan bahwa cinta-Nya lebih besar dari kematian” (KGK 1040).
Kesaksian
Yesus tentang diri-Nya mendorong kita untuk tetap percaya kepada-Nya, dan
sekaligus membantu kita membangun dunia dengan kasih-Nya sambil kita mempersiapkan
diri menyambut kedatangan-Nya kembali. Rahmat-Nya yang senantiasa Ia alirkan di
dalam Gereja menjadi jalan satu-satunya menuju kepada-Nya. Maka baharuilah diri
kita sendiri dan dunia ini. Sebab cinta dan pengorbanan-Nya telah Ia tunjukkan
supaya kita mati di dalam Dia dan bangkit di dalam Dia pula. Maka marilah kita memberi
kesaksian tentang Dia sekarang dan sampai selama-lamanya.
Sumber utama: Kitab Suci Katolik
– Pax Domini sit semper vobiscum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar