Kamis, 30 Maret 2017

Ada Apa dengan Salib itu?

(Suatu Refleksi)


Bagi orang Yahudi, salib merupakan sebuah palang penghinaan. Salib lebih dekat pada penjahat kelas kakap. Bagi orang Yunani, salib itu satu kebodohan tersendiri bagi orang yang memanggulnya dan tergantung pada salib itu. Bagi orang-orang yang percaya kepada Kristus, salib adalah kemenangan. Tuhan kita menang atas dosa dan maut. Demikianlah salib menghubungkan sengsara dan wafat Kristus.

Ia sengsara karena salib itu. Ia wafat pula di atas salib itu. Dosa dikalahkan, manusia dibebaskan. Ciri khas salib itu adalah penolakan dan ketidaktahuan manusia akan Putera Allah yang melawat ke dunia. Andai saja semua orang menerima Putera Allah, maka Israel menjadi tempat Allah bersemayam untuk selamanya. Semua mata akan memandang dan semua langkah menuju ke sana.

Salib itu membuat keselamatan “berpindah” pada dunia yang luas. Semua yang menaruh hati, percaya dan harapan kepada Putera Allah diperbolehkan untuk menerima satu kesempurnaan hidup, yaitu keselamatan kekal. Hal itu dapat terjadi karena salib itu mampu dipikul oleh Putera Allah sampai ke bukit Golgota. Meski berat namun berkat bagi manusia. Itu karena kerelaan Putera Allah untuk memikul salib itu.

Jelaslah bahwa Allah tidak menghendaki dosa meraja di atas dunia. Itu sebabnya, Ia setia terhadap salib itu, dipaku pada salib itu. Saat itu juga dosa dikalahkan dan maut dihancurkan. Salib menjadi sarana yang paling sempurna untuk melunasi “hutang” manusia. Manusia berhutang pada Allah maka Sang Putera melunasiNya dengan memanggul salib itu. Meski berat, Ia tidak mengeluh, tapi tetap berdiri.

Kalau begitu, salib bukan lagi satu palang penghinaan atau pun satu kebodohan tapi satu kemenangan bagi orang yang percaya kepada Sang Putera. Ia memenangi penolakan manusia atas diriNya. Dengan salib itu manusia dilahirkan menjadi baru, bebas dari dosa dan diperkenankan untuk menikmati kebahagiaan surgawi. Karena itu, pikullah salibmu dan jangan mengeluh. Di situlah kita diterima oleh Allah.

@Tempok nan Indah - Weekend Place…  30 Maret 2013

Rabu, 29 Maret 2017

Kesaksian Yesus tentang Diri-Nya (Yoh. 5:17-30)


Pertentangan orang-orang Yahudi dengan Yesus mengenai Sabat terus berlanjut. Bagi orang-orang Yahudi, Yesus telah melanggar hari Sabat, hari yang dikhususkan bagi Allah, dimana pada saat itu Allah beristirahat setelah melakukan karya Penciptaan. Yesus melakukan tindakan penyembuhan (Yoh. 5:1-18) dan sekaligus Ia “meniadakan” hari Sabat (Yoh. 5:18a). Ini menambah luka dalam diri orang-orang Yahudi, sebab mereka menganggap Yesus “keterlaluan” dan tidak sejalan dengan hukum Taurat. Lebih parah lagi, mereka menanggap Yesus menyamakan diri-Nya dengan Allah (Yoh. 5:18b): “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Akupun berkerja juga.” Suatu tamparan keras bagi orang-orang Yahudi yang berpegang teguh pada hukum Taurat.

Jelas orang-orang Yahudi sangat marah, karena selain Yesus seolah-olah menghapus hari Sabat yang mereka agung-agungkan secara legalistis, Ia pun menghujat Allah sebagai Bapa-Nya, yang kesimpulannya Yesus adalah Allah. Yoh. 15:17 sebenarnya menjelaskan pertentangan itu. Dalam pengertian orang-orang Yahudi, karya penciptaan Allah yang “sudah selesai” (Kej. 2:2 dst.) masih terus berlangsung, sementara hari Sabat diperingati sebagai hari istirahatnya Allah; tidak boleh ada aktivitas lain pada hari itu selain beribadah dengan maksud menyucikan hari hari yang bersangkutan. Artinya, Allah masih terus menyelenggarakan dunia, kecuali pada hari Sabat. Ini semacam pendamaian yang dibuat oleh orang-orang Yahudi sendiri terhadap karya Penciptaan Allah dan hari Sabat. Akan tetapi, Yesus justru meluruskan pengertian itu; bahwa memang Allah telah menciptakan dunia dan beristirahat (Sabat), tetapi konsekuensi langsung dari “berakhirnya” penciptaan Allah itu adalah penghakiman yang tidak berakhir. Benar bahwa Allah menciptakan dunia dan terus-menerus menyelenggarakan dunia, tetapi penghakiman dari Allah juga terus dijalankan pada waktu yang sama. “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga” (Yoh. 5:17). Perkataan Yesus ini yang menimbulkan kemarahan orang-orang Yahudi. Sebab, di satu sisi Yesus meniadakan hari Sabat, di sisi lain Ia menyamakan diri dengan Allah dan berhak atas hari Sabat itu (Yoh. 5:18). Dengan demikian, Yesus menyatakan diri sebagai Hakim Tertinggi yang berkuasa mengintervensi hari Sabat (bdk. Luk. 6:5 dan Mat. 12:1-8) sekaligus menunjukkan bahwa Dia adalah Allah.

Luk. 6:5
Kata Yesus lagi kepada mereka (beberapa orang Farisi): “Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat.”

Mat. 12:1-8 (khususnya ay. 8)
“Karena Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat.”


Sudah pasti orang-orang Yahudi ‘kebakaran jenggot’ karena mengaggap Yesus sebagai batu sandungan dengan menyatakan diri sebagai Allah. Maka jadilah ‘jenggot’ mereka ‘hangus’ (bukan saja terbakar) karena wejangan Yesus setelah itu (Yoh. 19-46) sungguh menyakitkan hati mereka. Wejangan itu berisi kesaksian Yesus tentang diri-Nya sendiri sebagai Anak Bapa. Ada tiga hal pokok dalam wejangan tentang kesaksian diri Yesus itu. Pertama, Bapa telah menyerahkan kepada Anak kekuasaan untuk memberi hidup (Yoh. 5:19-30); kedua, Bapa memberi kesaksian tentang Anak melalui Yohanes Pembaptis dan melalui “pekerjaan” yang Bapa sendiri kerjakan dalam diri Anak; ketiga, kesaksian itu disampaikan Bapa melalui Kitab Suci (Musa – Yoh. 31-47). Isi pokok kesaksian Yesus ini seharusnya diketahui oleh orang-orang Yahudi, namun mereka sama sekali tidak tahu-menahu. 


Yesus menjelaskan bahwa penghakiman atas dunia akan dilaksanakan oleh diri-Nya sendiri, yaitu Anak, sebab Bapa telah menyerahkan penghakiman itu kepada-Nya (Yoh. 5:22). Karenanya, menyangkut hidup dan matinya seseorang, Anaklah yang berkuasa atas itu; Dialah yang menentukan itu sebagai Hakim Tertinggi. Tidak heran, Yesus membuat mujizat dengan membangkitkan orang-orang mati, baik waktu Ia ada dunia maupun saat kedatanganNya kembali untuk kedua kalinya atau saat parusia (2Tes. 1:10; Tit. 2:13). Maka karya penciptaan yang dikerjakan Allah sejak semula terus dikerjakan oleh Anak sambil melakukan penghakiman atas karya penciptaan itu hingga akhir zaman. Yohanes Pembaptis telah menyatakan siapa Yesus (Yoh. 5:33) tetapi orang-orang Yahudi tidak dapat melihat-Nya sebagai Dia yang datang dari Bapa. Juga, penyataan tentang siapa Yesus sebenarnya telah diperlihatkan oleh diri-Nya sendiri melalui ‘pekekerjaan’ yang dilakukan-Nya (Yoh. 5:36), tetapi orang-orang Yahudi tetap tidak dapat melihat-Nya. Pun, dalam Kitab Suci dinyatakan siapa sesungguhnya yang akan datang dari Bapa (Yoh. 5:39), tetapi orang-orang Yahudi tetap pada pendirian mereka itu: tidak mengakui Yesus sebagai Anak Bapa. Mereka tidak mau datang kepada Yesus untuk memperoleh hidup dari-Nya (Yoh. 5:39).

Kesaksian Yesus tentang diri-Nya sendiri memberikan dua penegasan penting ini. Pertama, “Ia adalah Hakim Tertinggi” sejak semula sampai kekal, pada akhir zaman (Yoh. 5:26-30; 12:48; bdk. Mat. 25:31-46; Rom. 2:6+.). Kedua, “semua orang akan dihakimi menurut kepercayaannya” (Yoh. 3:11+.); penghakiman ini dimulai dengan kedatangan Anak (Yoh. 5:25; 12:31). Penghakiman ini lebih-lebih menyangkut penerimaan atau penolakan terhadap Yesus (Yoh. 3:18-21; 16:8-11). Ia akan menjadi Juruselamat bagi semua orang yang tidak menolak-Nya (8:15; 12:47). Maka orang-orang percaya yang mati akan memperoleh kehidupan di dalam Dia. Dengan kata lain, mereka yang mati secara rohani akan menerima penghakiman yang layak di hadapan-Nya (Yoh. 5:25). Itulah sebabnya, ketika tiba hari kebangkitan orang-orang mati, Yesus akan tampil sebagai Hakim untuk memisahkan orang-orang baik dari yang jahat (Yoh. 5:28) – (bdk. Mat. 22:29-32).


Orang Katolik yang terkasih, Yesus adalah utusan Bapa, Anak Bapa yang terkasih, sebagaimana dalam pembaptisan-Nya di sungai Yordan dan peristiwa transifigurasi-Nya di gunung Tabor hal itu dinyatakan. Iman kita kepada Kristus adalah jaminan keselamatan yang pasti. Ia adalah Hakim Tertinggi, yang selain melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dikehendaki Bapa, juga akan mengadili kita pada hari penghakiman, yaitu akhir zaman. Konsekuensinya, kita harus menerima Dia sebagai Juruselamat dan melakukan apa yang dilakukan-Nya dan diperintahkan-Nya. Iman memang menjadi jaminan keselamatan, tetapi perbuatanlah yang mengungkapkan iman itu. Beginilah Gereja mengajarkan kita tentang pengadilan terakhir itu:

“Pengadilan terakhir akan berlangsung pada kedatangan kembali Kristus yang mulia. Hanya Bapa yang mengetahui hari dan jam, Ia sendiri menentukan, kapan itu akan terjadi. Lalu, melalui Putera-Nya Yesus Kristus Ia akan menilai secara definitif seluruh sejarah. Kita akan memahami arti yang terdalam dari seluruh karya ciptaan dan seluruh tata keselamatan dan akan mengerti jalan-jalan-Nya yang mengagumkan, yang di atasnya penyelenggaraan ilahi telah membawa segala sesuatu menuju tujuannya yang terakhir. Pengadilan terakhir akan membuktikan bahwa keadilan Allah akan menang atas segala ketidak-adilan yang dilakukan oleh makhluk ciptaanNya, dan bahwa cinta-Nya lebih besar dari kematian” (KGK 1040).

Kesaksian Yesus tentang diri-Nya mendorong kita untuk tetap percaya kepada-Nya, dan sekaligus membantu kita membangun dunia dengan kasih-Nya sambil kita mempersiapkan diri menyambut kedatangan-Nya kembali. Rahmat-Nya yang senantiasa Ia alirkan di dalam Gereja menjadi jalan satu-satunya menuju kepada-Nya. Maka baharuilah diri kita sendiri dan dunia ini. Sebab cinta dan pengorbanan-Nya telah Ia tunjukkan supaya kita mati di dalam Dia dan bangkit di dalam Dia pula. Maka marilah kita memberi kesaksian tentang Dia sekarang dan sampai selama-lamanya.

Sumber utama: Kitab Suci Katolik – Pax Domini sit semper vobiscum.

Selasa, 28 Maret 2017

Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalanlah! (Yoh. 5:8)

(Youtube)

Lagi-lagi Yesus menyembuhkan orang pada hari Sabat, seperti yang kita baca hari ini (28 Maret 2017) dalam Injil Yoh. 5:1-16. Tempat di mana Yesus menyembuhkan orang sakit itu ialah Yerusalem, dekat Pintu Gerbang Domba; di situ ada sebuah kolam, yang dalam bahasa Ibrani disebut Betesda (Yoh. 5:2).

(Israel Images)

Nama “Betesda” dalam naskah-naskah Yahudi berbeda-beda: ada Betzata, Betsaida atau Belseta. Nama ini berarti “rumah belaskasihan,” atau “rumah rahmat” atau juga “rumah kerahiman,” kurang lebih sesuai dengan fungsinya kala itu. Kolam Betesda ini memiliki lima serambi. Serambi yang kelima itu membagi kolam itu menjadi dua wadah tempat menampung air yang dipergunakan dalam Bait Allah. Di semping kedua wadah itu masih ada beberapa wadah kecil yang airnya dipergunakan dalam kuil seorang dewa yang dianggap bisa menyembuhkan orang sakit.

Di serambi inilah sejumlah besar orang sakit berbaring, dan menantikan goncangan air kolam di serambi itu (Yoh. 5:3). Berdasarkan keterangan orang sakit yang disembuhkan Yesus itu, ketika air pada kolam mulai goncang, orang-orang sakit di situ seperti berlomba-lomba untuk turun ke dalam kolam itu (Yoh. 5:7). Sebab mereka yakin, siapa yang terdahulu masuk ke kolam air ketika air mulai bergoncang, ia menjadi sembuh, apapun juga penyakitnya (Yoh. 5:4). Praktis, orang yang disembuhkan Yesus itu tidak dapat masuk ke kolam karena selalu gagal nendahului orang-orang sakit yang lain. Tidak heran, waktu sakitnya terhitung 38 tahun (Yoh. 5:5).

Jadi untuk sembuh, orang-orang sakit di serambi Bait Allah itu seakan mengejar "nasib"nya sendiri-sendiri, berjuang sendiri, berusaha sendiri, menuju goncangan air pada kolam Betesda. Maksud hati memperoleh belaskasihan (sesuai nama "Betesda"), apa daya tangan dan kaki tak sanggup bergerak menuju "sumber kesembuhan" yang diidamkan.

(themanwhowrites)

Yesus memanfaatkan "keyakinan" dan pola pola pikir orang sakit itu sebagai jalan masuk untuk menyatakan diriNya sendiri. Kalau goncangan air itu menyembuhkan segala penyakit dalam diri manusia, Yesus justru menunjukkan bahwa Dialah penyembuh sejati. Ia menyembuhkan bukan hanya tubuh yang sakit, tetapi sekaligus jiwa si penderita. Yesus memberikan kesembuhan jasmani maupun rohani.

Perhatikan Yoh. 5:14, dimana Yesus berkata: "Engkau telah sembuh; jangan berbuat dosa lagi, supaya padamu jangan terjadi yang lebih buruk." Artinya, secara fisik, orang itu telah sembuh, dan secara rohani, ia pun sudah dibebaskan dari dosa. Siapa yang menyembuhkannya? Yesus! Ia menyembuhkan sakit dan dosa sekaligus. Mirip sekali penyembuhan ini dengan wanita Samaria yang bertemu dengan Yesus sebelumnya, "Tuhan, berikanlah aku air itu, supaya aku tidak haus dan tidak usah datang lagi ke sini untuk menimba air" (Yoh. 3:15). Di kesempatan itu juga Yesus memberikan air hidup kepada sang wanita Samaria, yaitu Roh dan Kebenaran, suatu penyembahan kepada Allah dalam diri Kristus, Mesias yang akan datang (Yoh. 3:26). Maksudnya sama, Yesus menjadi inti dari penyembuhan dan pengampunan dosa orang-orang yang sakit dan telah sembuh.

Namun demikian, tetap diingat bahwa Yesus tidak menyatakan kalau sakit atau penyakit adalah akibat dari dosa. Dahulu orang-orang berpadangan demikian (Yoh. 9:2), seolah-olah sakit adalah akibat dari dosa. Sebaliknya, Yesus memperingatkan dan menegaskan bahwa karunia penyembuhannya mewajibkan dia untuk bertobat (bdk. Mat. 9:2-8). Andaikata orang itu lupa bertobat, ia akan tertimpa hal yang lebih buruk dari pada penyakit dahulu (Yoh. 5:14). Itulah sebabnya, Yesus menyatakan bahwa (setiap) penyembuhan yang dilakukanNya merupakan langkah pernyataan kemuliaan Allah (bdk. Yoh. 2:11, 9:3).

Kalau demikian, Yesus membuat mujizat. Dan, ketahuilah bahwa mujizat itu adalah "tanda" kebangkitan rohani (Yoh. 4:24). "Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalanlah" (Yoh. 5:8). Kebangkitan rohani ini bermula dari inisiatif Yesus untuk memyembuhkan: "Maukah engkau sembuh?" (Yoh. 5:6). Penjelasan orang sakit itu mengenai situasi di serambi Bait Allah (Yoh. 5:7) menunjukkan bahwa ia memang mau sembuh. Maka Yesus memperhitungkan kemauan si penderita sakit. Mujizat terjadi dalam diri seseorang apabila Allah berinisiatif untuk memberikan kesembuhan dan adanya kemauan untuk disembuhkan dalam diri orang yang sakit. Maka mujizat adalah suatu tawaran dan "persetujuan" manusia yang lahir dari kehendak bebasnya untuk menerima tawaran Allah. Tidak ada otomatisme! Dengan demikian, kita dapat sampai pada kesimpulan: "Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalanlah."

Perhatikan juga kenyataan ini: Yesus menyembuhkan orang sakit itu pada hari Sabat (Yoh. 5:9b, 16). Lagipula orang yang sudah sembu itu tidak boleh mengangkat tilamnnya pada hari Sabat itu, sebab orang tidak boleh bekerja pada hari itu. "Sabat" dalam bahasa Ibrani berarti "Sabbath" yang terjemahannya adalah "istirhat." Ini adalah hari terakhir dalam sepekan menurut perhitungan Yahudi: hari yang disucikan dengan ibadah kepada Allah dan praktis berarti berhenti bekerja (Kel. 20:10; 31:13-17). Yesus kerap kali menentang praktek Sabat yang terlalu legalistis ini (Mat. 12:9-14; Mrk. 2:23-28; Luk. 13:10-17), dan sebaliknya Ia menyatakan bahwa "Anak Manusia adalah tuan atas hari Sabat" (Mrk. 2:28; Yoh. 5:2-18).

Sudah pasti orang-orang Yahudi meragukan Yesus; Dia bukan Mesias (Kristus), apalagi Allah. Malahan, kata mereka, tindakan penyembuhan yang dilakukan Yesus berasal dari seorang yang berdosa (Yoh. 9:16). Dalam hal ini, mereka ini sama sekali tidak tanggap akan kehadiran Mesias (Putera Allah) dan tanda-tanda yang dilakukanNya. Tidak heran, mereka berusaha menganiaya Yesus karena Ia melawan hari Sabat (Yoh. 5:16). Maka benarlah kata-kata Yesus sendiri dalam Mat. 11:25 dan Luk. 10:21.

(Catholic Herald)

Orang Katolik yang terkasih, "Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalanlah" adalah pernyataan Yesus yang penuh dengan kuasa. Bagi orang sakit itu, ia memperoleh kesembuhan karena kepercayaannya pada Yesus. Bagi kita, yang nota bene dilahirkan dalam Kristus melalui Baptisan Suci, adalah pernyataan yang menimbulkan dalam diri kita kesadaran untuk bertobat. Sebagaimana di Betesda (rumah belaskasihan, rumah rahmat, rumah kerahiman), kitapun berhak memperoleh belaskasihan Allah, meskipun kita telah jatuh dalam jurang dosa yang paling mengerikan dan mematikan. Sesaat saja kita MAU untuk menerima kehadiran Allah dan kehendakNya untuk mengampuni dosa kita (yang lebih dahulu datang kepada kita), kita pasti dibebaskan dari segala dosa kita. Pergilah ke ruang pengakuan dosa dan terimalah rahmat belaskasihan Allah melalui tangan sang Imam Kristus yang terurapi. Di sana kita akan diampuni Allah dan diperkenankan untuk hidup baru. Jikalau sudah bertobat dan menerima pengampunan dari Allah, hasilkanlah buah-buah yang sesuai pertobatan itu (Luk. 3:8) dan jangan berbuat dosa lagi (Yoh. 5:16).

Sumber utama: Kitab Suci Katolik – Pax Domini sit semper vobiscum.

Minggu, 26 Maret 2017

Punya Mata, tapi Tidak Melihat. Melihat, tapi Tidak Percaya

Sebenarnya ada apa dengan orang seperti ini? Itulah orang yang berusaha membungkam kebenaran. Persis itu adalah orang-orang Farisi yang hari ini ditegur langsung oleh Yesus.


“Aku datang ke dalam dunia untuk menghakimi, supaya barangsiapa yang tidak melihat, dapat melihat, dan supaya barangsiapa yang dapat melihat, menjadi buta” (Yoh. 9:39).

Yohanes memberikan kesaksian bahwa kata-kata Yesus ini didengar oleh beberapa orang Farisi yang berada di situ dan mereka berkata kepadaNya:

“Apakah itu berarti bahwa kami juga buta?” (Yoh. 9:40).

Maka Yesus menjawab mereka demikian:

“Sekiranya kamu buta, kamu tidak berdosa, tetapi karena kamu berkata: Kami melihat, maka tetaplah dosamu” (Yoh. 9:41).


Orang-orang Farisi sangat cocok dibilang begini: “Punya mata, tapi tidak melihat. Melihat, tapi tidak percaya.” Di beberapa kesempatan (termasuk peristiwa hari ini), orang-orang Farisi gemar menentang Yesus. Misalnya dalam hal mengampuni dosa, peraturan Sabat, dan bergaul dengan pendosa. Persis seperti yang dikisahkan rasul Yohanes hari ini: Orang yang buta sejak lahirnya (Yoh. 9:1-41).

Bagi Yesus, mereka terlalu mementingkan legalisme lahiriah, terlalu memusatkan perhatian pada aturan-aturan dan lupa akan kebenaran yang disampaikan dan dikerjakan oleh Allah dalam diri Anak Manusia. Misalnya, Yesus “mengaduk tanah” (Yoh. 9:14) adalah suatu pekerjaan yang tidak boleh dilakukan pada hari Sabat. Namun Yesus melakukan itu untuk menyembuhkan orang buta itu. Maka jadilah mata orang itu melek.

Yesus bertemu dengan dia dan berkata: “Percayakah enkau kepada Anak Manusia?” Jawabnya: “Siapakah Dia, Tuhan? Supaya aku percaya kepadaNya.” Kata Yesus kepadanya: “Engkau bukan saja melihat Dia; tetapi Dia yang sedang berkata-kata dengan engkau, Dialah itu!” Katanya: “Aku percaya, Tuhan.” Lalu ia sujud menyembahNya” (Yoh. 9:35-38).

Kepada orang buta yang matanya dimelekkan, Yesus memberikan keselamatan dan pengampunan dosa. Sementara kepada orang-orang Farisi, Yesus menyatakan bahwa dosa mereka tetap ada. Sebab, mereka mempunyai mata, tetapi tidak dapat melihat. Mereka melihat, tetapi tidak menaruh kepercayaan pada Yesus, Anak Manusia.

Benarlah kata-kata sang Pemazmur ini: “Mempunyai mata, tetapi tidak dapat melihat” (Mzm. 135:16b). Itulah orang-orang Farisi! Karena mereka lebih berpuas pada diri mereka sendiri dan percaya pada tangan mereka sendiri (bdk. Yoh. 9:24, 29, 34). Sebaliknya, mereka tidak dapat rendah hati seperti orang buta yang matanya dimelekkan Yesus itu. Orang buta yang disembuhkan itu adalah lambang orang-orang yang rendah hati dan menerima Yesus. Mereka ini “Tidak memiliki mata, tetapi melihat. Mereka melihat lalu percaya” (bdk. Ul. 29:3; Yes. 6:9 dst.; Yer. 5:21; Yeh. 12:2).

Orang Katolik yang terkasih, sekarang kita tidak lagi melihat Yesus. Namun, Roh Kudus yang Ia dan Bapa curahkan kepada kita memapukan kita untuk melihat Dia dalam kemuliaanNya. Beginilah pengajaran Gereja:


Tidak ada orang yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri Allah selain Roh Allah (1Kor. 2:11). Roh yang mewahyukan Allah itu, membuat kita mengenal Kristus, Sabda-Nya yang hidup; tetapi ia tidak berbicara tentang diri-Nya sendiri. Ia, yang “bersabda melalui para nabi,” membuat kita  mendengarkan Sabda Bapa. Tetapi kita tidak mendengarkan Dia sendiri. Kita hanya mendengarkan Dia secara tidak langsung, bial ia mewahyukan Sabda kepada kita dan mempersiapkan kita, menerima-Nya dalam iman. Roh kebenaran, yang “mengungkapkan” Kristus bagi kita, tidak berbicara “dari diri-Nya sendiri” (Yoh. 16:13. Sikap rendah hati yang ilahi ini menjelaskan, mengapa “dunia tidak dapat menerima-Nya, karena ia tidak melihat-Nya dan tidak mengenal-Nya,” sedangkan mereka yang percaya kepada Kristus mengenal-Nya, karena Ia menyertai mereka (Yoh. 14:17) [KGK 687).

Kiranya dengan Roh Kudus, kita tetap melihat Kristus yang menyelamatkan, supaya kita percaya kepada-Nya sepanjang hidup ini.

Pax Domini sit semper vobiscum.
(Pictures: pinterest.com, LDS.org, catholic-saint.net)

Sabtu, 25 Maret 2017

25 Maret, HARI RAYA KABAR SUKACITA

(pinterest.com)

Hari Raya Kabar Sukacita Santa Perawan Maria (25 Maret) disebut juga dlm kalender lama:

FESTUM INCARNATIONIS, INITIUM REDEMPTIONIS CONCEPTIO CHRISTI, ANNUNTIATIO CHRISTI, ANNUNTIATIO DOMINICA.

Kita merayakan kabar gembira yang disampaikan oleh malaikat Gabriel kepada Maria. Bahwa Maria akan mengandung dan melahirkan Kristus (Luk. 1:26-38). Hari Raya ini berasal dari Bizantium dan tampaknya sudah dirayakan di Roma sejak abad ketujuh. Hari Raya ini jatuh pada tgl 25 Maret yang ditentutkan berdasarkan perhitungan 9 bulan sebelum 25 Desember yang secara tradisional dirayakan sebagai hari kelahiran Yesus.

Dalam Gereja Latin, perayaan ini pertama kali disebutkan dalam "Sacramentarium" Paus Gelasius, yang kita miliki dalam bentuk sebuah naskah dari abad ketujuh. Perayaan ini juga ditemukan dalam "Sacramentarium" St. Gregorius, salah satu naskah tertanggal dari abad kedelapan. Karena kedua "sacramentary (Buku Doa Misa) ini mengandung tambahan posterior pada masa Paus Gelasius dan Paus Gregorius, Duchesne ("Origines du culte Chretien" - Asal-muasal Ibadat Kristen, 118, 261) memperkirakan asal-muasal perayaan ini benar-benar termasuk dalam masa Paus Gelasius. Sinode Toledo ke-10 (thn 665) dan Sinode Trullan (thn 692) berbicara mengenai perayaan ini sebagai salah satu yang dirayakan secara universal di dalam Gereja Katolik.

https://www.facebook.com/images/emoji.php/v8/f55/1/16/1f607.pngπŸ˜‡https://www.facebook.com/images/emoji.php/v8/f55/1/16/1f607.pngπŸ˜‡https://www.facebook.com/images/emoji.php/v8/f55/1/16/1f607.pngπŸ˜‡

"Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau" (1:28).

Demikianlah salam Malaikat Gabriel kepada Maria. Selanjutnya Malaikat Allah itu berkata:

"Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia, Yesus" (1:30-31).

Gereja merayakan peristiwa ini secara khusus mengingat arti dan maknanya bagi keselamatan manusia. Boleh dikatakan peristiwa Sabda menjadi daging berawal pada saat Maria menyatakan kesediaan dan persetujuan kepada Malaikat Gabriel, pembawa kabar gembira itu, dan semenjak itu pula Maria menjadi Bunda Allah.

Satu hal yang harus kita camkan dalam hati ialah "hormat Allah pada Maria" sebagaimana terlihat dalam permintaan kesediaan Maria untuk menerima Sabda Allah dalam rahimnya. Di sini Allah tidak memaksa Maria, tetapi meminta kesediaannya. Maria sendiri menyadari bahwa Tuhan memilih dia karena menganggap dia layak untuk menerima kabar gembira itu. Tetapi sebagai manusia, Maria masih tampak ragu-ragu akan makna kabar itu. Oleh karena itu, ia menanyakan lebih lanjut keterangan dari Malaikat Allah itu:

"Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?" (Luk. 1:34).

Dan ketika ia sudah merasa pasti akan makna kabar gembira Malaikat itu:

"Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menanungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah. ..." (Luk. 1:35).
Maria berkata:

"Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu" (Luk. 1:38).


Dari berbagai sumber https://www.facebook.com/images/emoji.php/v8/f55/1/16/1f607.pngπŸ˜‡https://www.facebook.com/images/emoji.php/v8/f55/1/16/1f607.pngπŸ˜‡https://www.facebook.com/images/emoji.php/v8/f55/1/16/1f607.pngπŸ˜‡
PAX DOMINI SIT SEMPER VOBISCUM.

Sisi Lain dari “Tujuh Puluh Kali Tujuh Kali”


Romo BΓΆhm yang memimpin Ekaristi pagi tadi bersaksi demikian, “Sejak kecil saya sudah belajar untuk menaruh Yesus dalam segala pengalaman hidup saya. Saat berjumpa dengan pengalaman yang ini, bagaimana Yesus berbicara tentang hal ini? Apa yang dikehendaki Yesus dengan kejadian ini? begitu seterusnya sampai sekarang.” Dan ketahuilah, beliau adalah panutan hebat di sini, minimal bagi saya secara pribadi.

Maksudnya jelas, agar kehendak Tuhanlah yang terjadi atas hidup ini. Apa kehendak Tuhan kepada Petrus yang bertanya, “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” (Mat. 18:21). “Bukan! Aku berkata kepadamu: bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali” (Mat. 18:22).

“Mengampuni sampai tujuh puluh kali tujuh kali? Bagaimana mungkin? Bukankah ini terlihat sangat rumit? Oh Tuhan, saya tak sanggup!”

Memang Anda tak sanggup bila mengandalkan kemampuan sendiri, sebab manusia pada hakikatnya terbatas, lemah, dan tidak bisa bekerja sendiri. Ia “harus” bekerja sama dengan Allah, Tuhan, yang Mahabelaskasih. Kita sepakat bahwa mengampuni sampau tujuh puluh kali tujuh kali merupakan pengampunan yang tanpa batas, terus-menerus, tiada hentinya. Tetapi dari sisi lain, kita membutuhkan rahmat Allah untuk membantu kita mewujudkan pengampunan yang tanpa batas itu.

Yesus menghubungkan tindakan mengampuni sampai tujuh puluh kali tujuh kali ini dengan Kerajaan Sorga. Pemilik Kerajaan Sorga itu adalah Allah sendiri, yang hendak mengadakan perhitungan dengan hamba-hambaNya. Salah seorang hamba ternyata berhutang kepadaNya, dan sesegera mungkin hamba itu harus melunaskannya. Akan tetapi, sang hamba itu tidak mampu melunaskan hutangnya sehingga sujud menyembah kepadaNya lalu berkata: “Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan.” Apa yang terjadi setelah itu? Allah tergerak hati oleh belas kasihan akan hambaNya itu, sehingga Ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya.

Perhatikanlah, di dalam Kerajaan Sorga ada hati yang tergerak oleh belas kashian. Pemilik hati itu adalah Allah. Belas kasihan Allah membebaskan dan menghapuskan hutang hamba itu. Tidak ada sisa, malahan bersih; hutangnya dilupakan dan tidak perlu diungkit-ungkit lagi. Inilah arti terdalam dari pengampunan yang tanpa batas: “tujuh puluh kali tujuh kali.” Sakramen Tobat di dalam Gereja memberikan rahmat ini, sebab Allah mengampuni dengan segenap hatiNya.

Sangat disayangkan karena setelah semua itu, hamba itu tidak belajar dari Allah yang telah memberi pengampunan kepadanya. Ia pergi dan mendapati seorang hamba lain, yang kebetulan berhutang kepadanya. Ia menangkap dan mencekik kawannya itu dan menyuruh membayar hutangnya. Meski kawannya sudah bersujud dan memohon, tetap hamba itu bersih keras dan menyerahkan kawannya ke dalam penjara sampai ia melunaskan hutangnya. Di sinilah keterbatasan manusia, tidak mampu mengampuni dan membebaskan, apalagi menghapuskan hutang. Hati hamba itu masih tertutup, belum tergerak oleh belas kasihan.

“Bukankah engkaupun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau? Maka Bapa-Ku yang di Sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu” (Mat. 18:33,35).
“Mengampuni sampai tujuh puluh kali tujuh kali” hanya lahir dari hati yang berbelas kasihan, hati yang tidak lagi memikirkan kesalahan orang, melainkan melihat orang lain sebagai sesamanya. “Engkau masih tak sanggup?” Belajarlah dari Yesus, yang menunjukkan secara nyata kesungguhan belas kasihan itu, yang rela disalibkan untuk semua orang dan mendoakan para penjahat dari kayu salib: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk. 23:34).

Rasul Yohanes menegaskan supaya kita “menjadi anak” di depan Allah. Sebab syarat untuk masuk ke dalam Kerajaan Sorga adalah orang harus “dilahirkan kembali” (Yoh. 3:7), “dilahirkan dari Allah” (Yoh. 1:13), supaya “menjadi anak Allah” (Yoh. 1:12) [KGK 526]. Untuk memenuhi pengampunan “tujuh puluh kali tujuh kali” ini, orang mesti menjadi anak Allah, belajar dariNya, memohonkan rahmatNya, mendengarkan Roh Kudus di dalam hatinya, memiliki hati yang berbelas kasihan, supaya sanggup melaksanakan kehendakNya itu. Mengampuni sampai tujuh puluh kali tujuh kali. Ketahuilah, ini adalah tugas dan kewajiban hamba-hamba Kerajaan Sorga.


PAX DOMINI SIT SEMPER VOBISCUM.

Yusuf, Suami Maria


Pernah, ada yang menganggap Yusuf, "ayah" dari Yesus, mempunyai anak-anak, selain Yesus. Anggapan ini melebar dengan menekankan bahwa Santa Maria berhubungan intim dengan Yusuf di kemudian hari. Anggapan konyol ini lahir dari ‘salah tafsiran’ terhadap Mat. 1:25, “tetapi tidak bersetubuh (Yusuf) dengan dia (Maria) sampai ia melahirkan anaknya laki-laki.” Padahal, Matius, sebagai penginjil, tidak melaporkan hal demikian, pun tidak bermaksud memberikan informasi seperti anggapan konyol itu.

Sebaliknya, Matius ingin memperjelas soal ketaatan dan ketulusan Yusuf sebagai seorang suami. Dan, perjumaapan Yusuf dengan malaikat Tuhan dalam mimpinya merupakan peneguhan atas apa yang dialami oleh Maria, isterinya yang sah. Yusuf taat kepada Tuhan sehingga ia mengambil Maria sebagai isterinya (baca Mat. 1:19-25). Apa yang dialami oleh Yusuf ini, terjadi di Nazareth, kota kehidupan atau kota keturunan, sesuai dengan arti nama kota ini.

Mengenai “ketulusan” hati Yusuf (Mat. 1:19), ini nampak dalam hal bahwa di satu pihak ia tidak mau memberikan nama kepada Anak yang akan dilahirkan Maria. Sebab ia sendiri tidak mengetahui asal-usul Anak itu. Di lain pihak, Yusuf tidak mau memaksa Maria menjalani pemeriksaan keras yang diperintahkan oleh Hukum (Ul. 22:20 dst) karena ia sangat yakin tentang kesucian Maria, isterinya.

Yusuf begitu bijaksana memutuskan persoalan ini, mempertimbangkan secara matang sebelumnya di bawah bimbingan Roh Kudus, dan mengambil Maria sebagai isterinya yang sah secara hukum. Ketulusan yang dimilikinya adalah bagian dari kesalehan yang ada di dalam dirinya. Ia tidak dapat dihantui oleh godaan kebingungannya dan tidak mencurigai Maria yang telah mengandung Yesus. Makanya, ia tidak dapat meninggalkan Maria (Mat. 1:19).

Mengenai Yusuf yang duda dan memiliki enam orang anak dari perkawinan pertama, lalu menikah dengan Maria, Mgr. Nicolaas Schneider CICM menulis, “Kisah ini dimaksudkan untuk menerangkan bagian Injil yang melukiskan tentang saudara-saudara Yesus (Mat. 12:46; Yoh. 2:12; 7:10). Keterangan yang sebenarnya ditemukan dalam makna kata bahasa Aram yang digunakan Yesus dan murid-muridNya. Bahasa Aram menggunakan kata yang sama untuk melukiskan saudara-saudara dan sepupu-sepupu, dan para pengarang Injil mengetahui bahwa hal ini akan berarti dan dipahami oleh umat yang menjadi tujuan penulisan Injil bila mereka menunjuk pada saudara-saudara Yesus. Yusuf dan Maria benar-benar menikah. Mereka memiliki hak-hak perkawinan secara penuh satu terhadap yang lain seperti lazimnya suami-isteri, walaupun mereka sendiri tidak menggunakan hak-hak itu. Alasan pokok teologis mengapa Yesus dilahirkan dari seorang perawan adalah bahwa Pribadi Kedua dalam Tri Tunggal Mahakudus itu telah ada sejak kekal. KelahiranNya sebagai manusia melalui Rahim Maria menunjukkan kehendak Allah untuk menjadi seorang anggota umat manusia dalam sebuah keluarga manusia. Yusuf – meskipun bukan ayah Yesus dalam arti fisik (biologis) – dihubungkan dengan Yesus oleh persatuan rohaniah seorang ayah, kewibawaan dan pelayanan.” Kiranya mengenai garis keturunan Yusuf amat jelas telah digambarkan oleh Matius dalam kitabnya (Mat. 1:1-17).

Yusuf sepertinya memiliki tipologi dalam Perjanjian Lama. Ia layaknya Yusuf, anak bungsu dari Yakub. Kehidupan Yesus diwarnai dengan unsur tipologis Yusuf ini dalam perannya sebagai seorang kepala rumah tangga. Nama “Yusuf” yang disebutkan dalam Perjanjian Lama disandang oleh suami Maria ini. Dilukiskan sebagai orang ‘benar’ dan ‘tulus.’ Dua Yusuf ini menerima pewahyuan melalui mimpi, sama-sama ‘dibuang’ ke Mesir dan peranan mereka dalam sejarah keselamatan yang dikerjakan Yesus cukup kelihatan. Bangsa Israel dibebaskan oleh Musa kala itu dan Yusuf memainkan peran penting di sana, dimana Musa menjadi pemimpin pembebasan itu. Sementara dalam Perjanjian Baru, Yusuf menjadi kepala keluarga, yaitu ‘ayah’ Yesus yang membebaskan manusia dari dosa.

Demikianlah Yusuf, suami Maria, menjadi pelindung bagi keluarga kudus dari Nazareth itu, sekaligus menjadi pelindung Gereja Universal. Sri Paus Pius IX menetapkan hal ini pada tanggal 8 Desember 1870 dan dirayakan oleh Gereja pada setiap tanggal 19 Maret. Tanggal 19 Maret ini ditetapkan oleh Sri Paus Pius XII sebagai Hari Raya utama Santo Yusus. Sri Paus Pius XI mengangkat Yusuf sebagai pelindung perjuangan Gereja melawan komunisme ateistik pada tahun 1937. Sementara pada tahun 1961, Sri Paus Yohanes XXIII memilih Yusuf sebagai pelindung surgawi Konsili Vatikan II. Nama “Yusuf” resmi dimasukan dalam Kanon Misa pada tahun 1962. Berbeda dengan tanggal 1 Mei, pesta pada tanggal ini dimaklumkan oleh Sri Paus Pius XII sebagai pesta Santo Yusuf Pekerja untuk menyatakan kembali keikutsertaan Gereja dalam karya penyelamatan Allah.


PAX DOMINI SIT SEMPER VOBISCUM.

Perempuan di Bibir Sumur Yakub

(truthbook.com)

Siang ini kami punya kesempatan untuk bersenda gurau dengan Abang kami yang di Jakarta. Ia cukup "lihat" dalam memainkan kata dan frasa, berbakat, dan pernah menggeluti tulisan-tulisan Khalil Gibran, orang Libanon yang terkenal itu.

Makanya, ketika diskusi kami sampai ke "Sabda" hari Minggu ini, Abang kami ini mengaku belum misa tapi sudah membaca Sabda hari ini. Ya, Sabda tentang sorang perempuan di bibir Sumur. Itu ide yang keluar dari mulut si Abang. Menarik!

Apa tendensi "Perempuan di Bibir Sumur" itu? Well.. Hari ini, dalam Minggu Prapaskah III ini, Yesus berjumpa dengan seorang perempuan Samaria. Perempuan yang sebenarnya menyadari diri sebagai orang asing di hadapan orang Yahudi seperti Yesus. Perempuan ini tak bersuami tapi pernah memiliki beberapa laki-laki. Bahkan, lelaki yang kelima, yang sekarang ada bersamanya (di rumah), pun bukan suaminya. Yesus mengetahui keberadaan perempuan ini, dan sebaliknya ia heran mengapa Yesus mengetahuinya.

Adalah kesempatan bertemu dengan Yesus itu, terjadi di bibir Sumur Yakub, bapa dari Yusuf, si bungsu yang dahulu diperlakukan sewenang-wenang oleh saudara-saudaranya. Alasannya, Yakub, bapanya, terlalu mencintai Yusuf, si bungsu itu. Apa pun itu, Sumur itu tetap dikenang oleh orang-orang Samaria sebagai pemberian tokoh besar Yakub, termasuk perempuan itu.

Setidaknya, perempuan "berdosa" itu berjumpa dengan Guru bijaksana, Juruselamat dunia (demikian bagi orang-orang Samaria yang datang saat itu) di bibir Sumur itu. Ia hendak menimba air dari Sumur itu, tapi justru menimba dari Sumur hidup sejati. Dialah Yesus, sang Guru bijaksana, Juruselamat dunia.

Agak mengherankan, karena Yesus sebetulnya meminta air dari perempuan Samaria itu, tetapi justru Ia memberi air kepada si perempuan Samaria. Bibir Sumur menjadi saksi bisu atas keheranan ini. Air Sumur itu berbeda dengan air yang diberikan Yesus, sang Guru, Juruselamat dunia. Air yang diberikan Yesus adalah dari diriNya sendiri, sementara perempuan itu tetaplah merupakan pencari air, peminum yang haus akan Roh dan Kebenaran, pembawa tempayan air sejati.

Injil Yohanes cukup dikenal dengan "Injil yang basah," karena banyak mengisahkan tetang air. Ingat di Kana, tempat dimana Yesus mengubah air menjadi anggur. Nikodemus, orang yang berdiskusi dengan Yesus tentang air dan kelahiran kembali. Perempuan Samaria di Bibir Sumur Yakub ini. Seorang yang sakit selama 38 tahun di serambi Salomo. Dan puncaknya, di Salib Golgota, dimana darah dan air mengalir keluar dari lambung Yesus.

Sama.. Dari bibir Sumur Yakub pun Yesus memberikan air kehidupan bagi perempuan Samaria itu. Air yang dahulu menyegarkan bagsa Israel dalam perjalanan menuju tanah terjanji, dimana Musa membelah sebuah batu besar dan keluarlah air, di Meriba. Kini, air itu adalah Yesus sendiri, sumber yang menghidupkan, yang menyegarkan. Yohanes Penginjil mengerti betul "cerita" mengenai air dalam kitabnya. Dalam konteks ini, sumur hidup itu adalah Yesus, penyegar dahaga kehausan sang perempuan Samaria.

Benarlah pengampunan itu! Tuhan sendiri "haus" akan orang-orang berdosa, Ia rela menjadi air untuk memenuhi dahaga kemarau manusia yang berkepanjangan. Ia sendirilah yang duduk di bibir sumurNya untuk tiap-tiap orang yang mencari dan mendekatiNya. Ia siap memberi kepuasan rohani, menjadi mata air sejati bagi mereka yang haus akan Dia. Maka langkah pertobatan kecil menjadi sangat berarti. Langkah yang mengantar tempayan jiwa yang kosong menuju Bibir Sumur Yesus untuk menimba air hidup sejati.

Ah.. perempuan Samaria itu begitu gembira karena telah menerima air hidup sejati. Semoga banyak jiwa yang mendekati bibir Sumur yang sama untuk menerima air hidup demi kehidupan kekal. Sebab darah dan air yang mengalir di kayu salib itu adalah Roh dan Kebenaran seperti yang dialirkan kepada perempuan Samaria di bibir Sumur hidup itu. Air, yang dalam Roh Kudus, menjadi tanda kelahiran Gereja dan Sakramen yang menyelamatkan.


PAX DOMINI SIT SEMPER VOBISCUM.