Matius 5:37 “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak,
hendaklah kamu katakan: tidak! Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si
jahat.”
#jika #ya …
Ini sebuah ucapan terkenal, bdk. 2Kor. 1:17 (Jadi, adakah aku bertindak serampangan dalam merencanakan hal ini? Atau
adakah aku membuat rencanaku sendiri, sehingga padaku serentak terdapat ya dan
tidak?); Yak. 5:12 (Tetapi yang
terutama, saudara-saudara, janganlah kamu bersumpah demi sorga maupun demi bumi
atau demi sesuatu yang lain. Jika ya, hendaklah kamu katakana ya, jika tidak
hendaklah kamu katakan tidak, supaya kamu jangan kena hukuman), dan ini
dapat diartikan dengan berbagai cara:
1)
#Berkata #benar: kalau ya, hendaklah berkata ya, kalau tidak hendaklah berkata
tidak;
2)
#Jujur: ya (atau tidak) yang diucapkan hendaknya sesuai dengan maksud dalam
hati;
3) Suatu ucapan meriah: mengulang ya atau tidak sudah cukup; tidak perlu orang
masih angkat sumpah demi Allah.
#jika #ya …
dalam Bil. 30:2 (Apabila seorang
laki-laki bernazar atau bersumpah kepada TUHAN, sehingga ia mengikat dirinya
kepada suatu janji, maka janganlah ia melanggar perkataannya itu; haruslah ia
berbuat tepat seperti yang diucapkannya) dan Ul. 23:21 (Apabila engkau bernazar kepada TUHAN,
Allahmu, janganlah engkau menunda-nunda memenuhinya, sebab tentulah TUHAN,
Allahmu, akan menuntutnya dari padamu, sehingga hal itu menjadi dosa bagimu).
Ini adalah firman yang disampaikan kepada bangsa Israel kala itu. Bahwa setiap
kata atau sumpah atau janji hendaklah sesuai dengan yang keluar dari mulut,
kalau tidak maka itu menjadi suatu kepalsuan. Lagi pula, hal itu mesti
diwujudkan pada waktunya.
Dasarnya ada
pada Sepuluh Perintah Allah, Kel. 20:16 (Jangan
mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu). Larangan untuk mengucapkan
kesaksian palsu atau pun dusta, diperluas dengan kewajiban untuk menepati
sumpah yang telah diucapkan. Demikianlah kata-kata seseorang haruslah dapat
dipercaya tanpa “embel-embel” atau tambahan apa pun untuk membuat kata-kata itu
dianggap sah. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat. Kesesuaian kata-kata
yang menjadi sumpah amat perlu dipraktekkan di sini!
Kepada nenek moyang Israel, difirmankan, “Jangan bersumpah palsu, melainkan peganglah sumpahmu di depan Tuhan.” Namun Yesus menggarisbawahi ini dengan berkata “janganlah sekali-kali bersumpah….” Ia mengajarkan bahwa setiap sumpah melibatkan Allah dan bahwa kehadiran Allah dan kebenaranNya di dalam tiap perkataan harus dipegang dengan hormat. Hanya dengan penuh kesadaran menggunakan kata “Allah” dalam pembicaraan, itulah yang sesuai dengan penghormatan kepada kehadiranNya, yang disesuaikan atau diperolok oleh tiap ungkapan ktia. Tradisi Gereja mengartikan perkataan Yesus demikian bahwa ia tidak melarang sumpah, kalau itu menyangkut satu masalah yang berat dan benar (umpamanya di depan pengadilan). “Sumpah, ialah menyerukan nama Allah selaku saksi kebenaran, hanya boleh diucapkan dalam kebenaran, kebijaksanaan dan keadilan” [bdk. 2Kor. 1:23; Gal. 1:20], (KGK 2153, 2154).
#jika #ya, katakan
ya, itu adalah kebenaran. #jika #ya, katakan ya, itu adalah kejujuran. Atau pun
sebaliknya, jika tidak, katakan tidak, itu adalah kebenaran, jika tidak, katakan
tidak, itu adalah kejujuran. Ada harapan akan kebenaran dan kejujuran yang
datang dari nurani kita. Yesus mengorek inti kehidupan ini, yaitu hati dan
pikiran manusia sebagai ‘instrumen’ kebenaran dan kebajikan. Sebab bukan dusta
dan kepalsuan yang diinginkanNya. Bila hati dan pikiran sudah mantap, kebenaran
akan lahir dengan sendirinya. Tidak usah sembarangan bersumpah, tetapi usahakan
dan perjuangkan kesucian hati dan pikiran dengan menempatkan Yesus sebagai
dasar dari hidup ini.
In te Domine
speravi, non confundar in aeternum.
(Pict: More Sky)
(Pict: More Sky)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar