Minggu, 12 Februari 2017

Jika ya, katakan ya, jika tidak, katakan tidak

Matius 5:37 “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak! Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.”

#jika #ya … Ini sebuah ucapan terkenal, bdk. 2Kor. 1:17 (Jadi, adakah aku bertindak serampangan dalam merencanakan hal ini? Atau adakah aku membuat rencanaku sendiri, sehingga padaku serentak terdapat ya dan tidak?); Yak. 5:12 (Tetapi yang terutama, saudara-saudara, janganlah kamu bersumpah demi sorga maupun demi bumi atau demi sesuatu yang lain. Jika ya, hendaklah kamu katakana ya, jika tidak hendaklah kamu katakan tidak, supaya kamu jangan kena hukuman), dan ini dapat diartikan dengan berbagai cara:

1)      #Berkata #benar: kalau ya, hendaklah berkata ya, kalau tidak hendaklah berkata tidak;
2)      #Jujur: ya (atau tidak) yang diucapkan hendaknya sesuai dengan maksud dalam hati;
3)    Suatu ucapan meriah: mengulang ya atau tidak sudah cukup; tidak perlu orang masih angkat sumpah demi Allah.

#jika #ya … dalam Bil. 30:2 (Apabila seorang laki-laki bernazar atau bersumpah kepada TUHAN, sehingga ia mengikat dirinya kepada suatu janji, maka janganlah ia melanggar perkataannya itu; haruslah ia berbuat tepat seperti yang diucapkannya) dan Ul. 23:21 (Apabila engkau bernazar kepada TUHAN, Allahmu, janganlah engkau menunda-nunda memenuhinya, sebab tentulah TUHAN, Allahmu, akan menuntutnya dari padamu, sehingga hal itu menjadi dosa bagimu). Ini adalah firman yang disampaikan kepada bangsa Israel kala itu. Bahwa setiap kata atau sumpah atau janji hendaklah sesuai dengan yang keluar dari mulut, kalau tidak maka itu menjadi suatu kepalsuan. Lagi pula, hal itu mesti diwujudkan pada waktunya.

Dasarnya ada pada Sepuluh Perintah Allah, Kel. 20:16 (Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu). Larangan untuk mengucapkan kesaksian palsu atau pun dusta, diperluas dengan kewajiban untuk menepati sumpah yang telah diucapkan. Demikianlah kata-kata seseorang haruslah dapat dipercaya tanpa “embel-embel” atau tambahan apa pun untuk membuat kata-kata itu dianggap sah. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat. Kesesuaian kata-kata yang menjadi sumpah amat perlu dipraktekkan di sini!


Kepada nenek moyang Israel, difirmankan, “Jangan bersumpah palsu, melainkan peganglah sumpahmu di depan Tuhan.” Namun Yesus menggarisbawahi ini dengan berkata “janganlah sekali-kali bersumpah….” Ia mengajarkan bahwa setiap sumpah melibatkan Allah dan bahwa kehadiran Allah dan kebenaranNya di dalam tiap perkataan harus dipegang dengan hormat. Hanya dengan penuh kesadaran menggunakan kata “Allah” dalam pembicaraan, itulah yang sesuai dengan penghormatan kepada kehadiranNya, yang disesuaikan atau diperolok oleh tiap ungkapan ktia. Tradisi Gereja mengartikan perkataan Yesus demikian bahwa ia tidak melarang sumpah, kalau itu menyangkut satu masalah yang berat dan benar (umpamanya di depan pengadilan). “Sumpah, ialah menyerukan nama Allah selaku saksi kebenaran, hanya boleh diucapkan dalam kebenaran, kebijaksanaan dan keadilan” [bdk. 2Kor. 1:23; Gal. 1:20], (KGK 2153, 2154).

#jika #ya, katakan ya, itu adalah kebenaran. #jika #ya, katakan ya, itu adalah kejujuran. Atau pun sebaliknya, jika tidak, katakan tidak, itu adalah kebenaran, jika tidak, katakan tidak, itu adalah kejujuran. Ada harapan akan kebenaran dan kejujuran yang datang dari nurani kita. Yesus mengorek inti kehidupan ini, yaitu hati dan pikiran manusia sebagai ‘instrumen’ kebenaran dan kebajikan. Sebab bukan dusta dan kepalsuan yang diinginkanNya. Bila hati dan pikiran sudah mantap, kebenaran akan lahir dengan sendirinya. Tidak usah sembarangan bersumpah, tetapi usahakan dan perjuangkan kesucian hati dan pikiran dengan menempatkan Yesus sebagai dasar dari hidup ini.

In te Domine speravi, non confundar in aeternum.
(Pict: More Sky)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar