Siapa yang tak kenal Ahok, lelaki keturunan Tionghoa itu, atau Djarot pasangan Ahok di PilGub DKI Jakarta? Dari Sabang sampai Merauke pasti banyak yang mengenal dua orang ini. Betapa fenomenal dan kental dua orang ini di jagat Indonesia saat ini. Perbincangan demi perbincangan di dunia nyata dan maya kerap kali melibatkan mereka, malahan tak tertahankan. Bahkan di belahan dunia lain di luar Indonesia pun ditemukan perbincangan istimewa sekitar dua sosok ini. Semakin tersohor memang, itu tidak diragukan lagi.
Ya, banyak yang mengenal keduanya tapi ada perbedaan dalam pengenalan itu. Ada yang mengenal karena mencintai lalu terus mencintai, ada pula yang mengenal untuk membenci karena terlalu dicintai. Beda kan? Jangan heran kalau banyak cinta lahir untuk mereka. Jangan pula heran kalau banyak benci menghampiri mereka. Cinta dan benci merupakan dua sisi yang berlainan layaknya satu logam mata uang, bertolak belakang dan tidak berhadapan.
Lima tahun terakhir ini Jakarta seperti baru lahir, bukan suatu reinkarnasi melainkan suatu dominasi demokrasi. Dari rakyat untuk rakyat, begitulah kura-kura. Pemimpin idaman sekaligus pencekal kematian yang selama ini bercokol di Ibu Kota Indonesia, Jakarta. Ini harapan rakyat yang sudah dibuktikan, sehingga Jakarta boleh menjadi model dan patokan bagi daerah lain di Indonesia.
Siapa pemimpin itu? Ahok! Siapa pendampingnya? Djarot! Mereka kompak menciptakan Jakarta baru, bukan tinggal mati di tempat. Ingin mereka memimpin lima tahun lagi? Pilih dua orang ini supaya Jakarta semakin baru. Ingat, Jakarta sudah baru tapi "pekerjaan belum selesai." Karenanya, lima tahun kemarin bukanlah waktu yang cukup, sekarang tambah lima tahun lagi, berikan mereka kesempatan dan kamu akan tahu bagaimana Jakarta kelak. Sudah pasti lebih dari sekedar baru.
Sekarang, mengapa dan dari sisi mana orang memandang mereka sebagai nomor satunya Jakarta.
Mengapa memilih Ahok-Djarot? Memilih Ahok-Djarot untuk DKI Jakarta pertama-tama bukan karena mereka ada di antara pilihan, tapi karena Ahok-Djarotlah yang memahami Jakarta dan kebutuhannya. Pilihan ini berdasarkan bukti, bukan hafalan konsep dan retorika kosong. Mereka berkonsep, beretorika dan membuktikan; ada nilainya, bukan tetap kosong. Ini yang benar, maka menentukan pilihan pun harus pada yang terbukti dan benar. Bukankah kebenaran itu ditemukan dalam keselarasan kata dan perbuatan? Jangan ragu memilih yang terbukti benar. Jadi, mengapa memilih Ahok-Djarot? Karena mereka pemimpin benar untuk Jakarta yang benar.
Dari sisi mana memilih Ahok-Djarot? Moralitas yang teruji! Belakangan, sebagian orang mencela Ahok: kata-katanya tidak sopan, kasar dan suka marah-marah. Amat manusiawilah itu, tapi jangan lupa ada asap karena ada api? Lah kalau begitu, di mana moralitasnya? Moralitasnya ada pada komitmen untuk tidak berteman dengan kejahatan. Anda tahu sendirilah kejahatan seperti apa yang sering dillakokan para penguasa politik. Dan, untuk kejahatan perlu sikap tidak sopan, untuk kejahatan perlu kasar, untuk kejahatan perlu marah-marah. Gaya blak-blakan kadang digunakan sebagai 'strategi' untuk memerangi kejahatan.
Akhirnya, mengapa harus memberi cinta kepada Ahok-Djarot? Ingat, sumber dan tujuan keberadaan manusia adalah cinta. Maka mencintai kebenaran adalah hal yang mutlak perlu. Sementara membenci kebenaran adalah kekeliruan terbesar sepanjang hidup. Kalau ada yang membenci dua orang ini, itu karena mereka terlalu dicintai. Dan kalau banyak yang mencintai dua orang ini, itu karena orang-orang tidak mau berkecimpung dalam kekeliruan. Mereka yakin kekeliruan hanya membawa kehancuran, sedangkan cinta membawa hidup kepada kesempurnaan. Di dalamnya ada kebenaran dan kebenaran itu yang memerdekakan. (Engga Condios, simpatisan Ahok-Djarot).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar