Minggu, 19 Februari 2017

Haruskah Mata Ganti Mata atau Gigi Ganti Gigi?


Rasanya sangat-sangat sulit melakukan amanat Yesus hari ini. "Ah.. Yesus, yang benar saja?" Namun demikian, perlu ditinjau lebih jauh mengenai sabda Yesus ini. 

Mata ganti mata, gigi ganti gigi (Kel. 21:24), ditambahkan lagi tangan ganti tangan, kaki ganti kaki, lecur ganti lecur, luka ganti luka, bengkak ganti bengkak (Kel. 21:25), bahkan sebelumnya disebutkan nyawa yang melayang harus diganti dengan nyawa (Kel. 21:23). Ini adalah hukum pembalasan dalam Perjanjian Lama. Hukum ini nampaknya memperbolehkan orang untuk membalas kejahatan dengan kejahatan. Tapi sesungguhnya tidaklah demikian. Sebab dalam Im. 19:18, ada semacam "pembaruan" akan hukum ini: "Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN." 

Selanjutnya, dalam Im. 24:17-20 masih diserukan hukum pembalasan yang sama oleh Allah: "apabila seorang membunuh seorang manusia, pastilah ia dihukum mati. ... mata ganti mata, gigi ganti gigi." Ul. 19:21, "... nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki." Dasar hukum ini adalah Ul. 19:19, "Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu." Adanya pembalasan terhadap kejahatan hendaknya melahirkan sikap dan efek jerah dari orang lain yang mengalami dan menyaksikan hukuman itu berlangsung. Tujuannya hanya satu yaitu, "kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" (Im. 19:18). Tidak boleh ada dendam dan permusuhan, tetapi sebaliknya kasih-mengasihi satu sama lain. 

Yesus menyajikan kembali hukum lama ini di hadapan para muridNya kala itu: "Kamu telah mendengar firman: mata ganti mata, gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu, janganlah melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu" (Mat. 5:38-39). Bukan pembalasan yang dikehendaki melainkan belaskasihan. Jelas, hukum Yesus adalah kasih. Kasih yang tidak terbatas kepada sesama yang mengasihi, tetapi sampai kepada sesama yang memusuhi (Mat. 5:44). Sebab, yang pertama adalah kasih, bukan kejahatan. 

Dengan jalan kasih, Yesus menarik kembali para muridNya sampai ke awal penciptaan, bahwa semua baik adanya, tidak ada kejahatan; Allah tidak pernah menciptakan kejahatan. Penarikan Yesus ini kiranya mengacu pada sabda ini: "Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus" (Im. 19:12). Perintah Allah untuk menguduskan diri berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, relasi antar sesama (keluarga ataupun masyarakat luas). Masing-masing orang hendaklah menjadi kudus, karena Allah telah menguduskannya. 

Rasul Paulus menunjuk tiap-tiap orang sebagai 'tempat' berdiamnya Allah, bait kudus, yaitu pribadi manusia seutuhnya (1Kor. 3:16-17). Apabila timbul kejahatan di antara manusia, itu sesuatu yang amat keliru dan tidak pernah dikehendaki oleh Allah. Itu sebabnya, Yesus dengan tegas mendudukkan kasih sebagai 'solusi' atas seluruh persoalan hidup, termasuk persoalan antar sesama. Kejahatan tidak boleh dibalas dengan kejahatan sebab masing-masing orang diciptakan serupa dengan Allah dan 'diwajibkan' hidup seperti Allah, yakni kudus dan berbuat kasih. Ini tak lain adalah menjadi sempurna, sama seperti Bapa yang di sorga sempurna adanya (Mat. 5:48).

Pax Domini, sit semper vobiscum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar