Selasa, 21 Februari 2017

Berita Penderitaan, "Derita Pewartaan"


Situasi sudah "memanas" sehingga Yesus harus melakukan penyingkiran bersama murid-muridNya. Banyak orang Galilea telah mengetahui siapa Yesus. Namun pengetahuan terbatas pada unsur kepuasan raga belaka, dan ujungnya, mereka ingin agar Yesus menjadi raja atas mereka. Maka, penyingkiran Yesus kali ini tidak boleh diketahui oleh orang-orang Galilea. Dengan demikian, pengajaranNya terpusat hanya kepada para muridNya. Ketahuilah, isi dan inti pengajaran Yesus ialah peristiwa wafat dan kebangkitanNya kelak. Ini sekaligus menjadi berita kedua dari Yesus sendiri yang perlu didengar dan dipahami oleh para muridNya (Mrk. 9:30-32), sama halnya dengan berita pertama (Mrk. 8:31-9:1). Pemberitaan ini akan menjadi 'pencobaan' bagi murid-muridNya di kemudian hari. 

Betapa penting berita wafat dan kebangkitanNya itu sehingga Yesus harus memusatkan perhatian dan pengajaranNya kepada para muridNya tanpa kehadiran orang lain. Bahkan Ia rela memberitahukan itu sebanyak tiga kali dan mengajarkan dengan maksud yang sama: "Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia, dan mereka akan membunuh Dia, dan tiga hari sesudah Ia dibunuh Ia akan bangkit" (Mrk. 8:31, 9:31, 10:33). Tidak lama lagi, pencobaan ini akan terjadi, karena itu para murid harus memahaminya dan tidak boleh takut menghadapinya. Merekalah yang 'wajib' memahami dan mengimani misteri Allah melalui hidup, wafat dan kebangkitan Yesus, bukan seperti orang banyak di Galilea. 

Meski Yesus sudah dua kali mengajarkan kepada mereka, para murid tetap belum memahami: "Mereka tidak mengerti perkataan itu, namun segan menanyakannya kepadaNya" (Mrk. 9:32). Sepertinya, berita ini kurang mendapat tempat dalam hati para murid sehingga segan dan tidak bertanya sama sekali. Akibatnya, di tengah jalan ke Kapernaum, para murid mempersoalkan status dan kedudukan masing-masing mereka di dalam Kristus kelak. Jelas, pikiran mereka masih sama seperti orang banyak di Galilea, yang ingin mengangkat Yesus sebagai raja karena merasa dipuaskan oleh mukjizat-mukjizat yang dilakukan Yesus. Padahal, sasarannya adalah Kerajaan Sorga. Maka pikiran dan diskusi para murid di tengah jalan untuk menjadi yang terbesar dalam Kerajaan Sorga (Mrk. 9:34) tidak dibenarkan oleh Yesus. Sebaliknya, Yesus mengungkapkan paradoks ini sebagai jalan untuk memahami status masing-masing orang dalam Kerajaan Sorga: "Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya" (Mrk. 9:35).

Paradoks di atas tidaklah mudah untuk dilakukan. Kemudian dari pada itu, Yesus menempatkan seorang anak kecil yang pastinya memiliki kelembutan, kepolosan, tidak terbuai dengan jabatan duniawi seperti para murid itu. Bahkan, lebih dalam dari itu, tiap-tiap orang harus rela melayani sampai yang paling kecil dan hina dengan modal kerendahan hati yang besar. Ternyata, berita tentang kematian dan kebangkitan Yesus menyentuh aspek dan nilai-nilai surgawi, yaitu merendahkan diri dan menjadi pelayan. Orang harus mematikan keinginan dirinya dan melayani semua orang (mulai dari yang paling kecil dan hina-dina) untuk bangkit bersama Yesus menuju Bapa. Untuk itulah, para murid harus berani mengalami kematian Yesus seraya menumbuhkan semangat yang rela dan mengorbankan diri seutuhnya dengan menolak keinginan duniwai sebagaimana orang-orang Galilea pada umumnya dan mereka sendiri pada khususnya. Dengan begini kebangkitan Yesus menjadi pewartaan yang menghidupkan karena kerelaan mereka untuk menderita demi Yesus, dan dengan itu pula Bapa tetap disambut dalam nama Yesus. (Pict: Iman Katolik).

Pax Domin, sit semper vobiscum.

Minggu, 19 Februari 2017

Haruskah Mata Ganti Mata atau Gigi Ganti Gigi?


Rasanya sangat-sangat sulit melakukan amanat Yesus hari ini. "Ah.. Yesus, yang benar saja?" Namun demikian, perlu ditinjau lebih jauh mengenai sabda Yesus ini. 

Mata ganti mata, gigi ganti gigi (Kel. 21:24), ditambahkan lagi tangan ganti tangan, kaki ganti kaki, lecur ganti lecur, luka ganti luka, bengkak ganti bengkak (Kel. 21:25), bahkan sebelumnya disebutkan nyawa yang melayang harus diganti dengan nyawa (Kel. 21:23). Ini adalah hukum pembalasan dalam Perjanjian Lama. Hukum ini nampaknya memperbolehkan orang untuk membalas kejahatan dengan kejahatan. Tapi sesungguhnya tidaklah demikian. Sebab dalam Im. 19:18, ada semacam "pembaruan" akan hukum ini: "Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN." 

Selanjutnya, dalam Im. 24:17-20 masih diserukan hukum pembalasan yang sama oleh Allah: "apabila seorang membunuh seorang manusia, pastilah ia dihukum mati. ... mata ganti mata, gigi ganti gigi." Ul. 19:21, "... nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki." Dasar hukum ini adalah Ul. 19:19, "Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu." Adanya pembalasan terhadap kejahatan hendaknya melahirkan sikap dan efek jerah dari orang lain yang mengalami dan menyaksikan hukuman itu berlangsung. Tujuannya hanya satu yaitu, "kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" (Im. 19:18). Tidak boleh ada dendam dan permusuhan, tetapi sebaliknya kasih-mengasihi satu sama lain. 

Yesus menyajikan kembali hukum lama ini di hadapan para muridNya kala itu: "Kamu telah mendengar firman: mata ganti mata, gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu, janganlah melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu" (Mat. 5:38-39). Bukan pembalasan yang dikehendaki melainkan belaskasihan. Jelas, hukum Yesus adalah kasih. Kasih yang tidak terbatas kepada sesama yang mengasihi, tetapi sampai kepada sesama yang memusuhi (Mat. 5:44). Sebab, yang pertama adalah kasih, bukan kejahatan. 

Dengan jalan kasih, Yesus menarik kembali para muridNya sampai ke awal penciptaan, bahwa semua baik adanya, tidak ada kejahatan; Allah tidak pernah menciptakan kejahatan. Penarikan Yesus ini kiranya mengacu pada sabda ini: "Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus" (Im. 19:12). Perintah Allah untuk menguduskan diri berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, relasi antar sesama (keluarga ataupun masyarakat luas). Masing-masing orang hendaklah menjadi kudus, karena Allah telah menguduskannya. 

Rasul Paulus menunjuk tiap-tiap orang sebagai 'tempat' berdiamnya Allah, bait kudus, yaitu pribadi manusia seutuhnya (1Kor. 3:16-17). Apabila timbul kejahatan di antara manusia, itu sesuatu yang amat keliru dan tidak pernah dikehendaki oleh Allah. Itu sebabnya, Yesus dengan tegas mendudukkan kasih sebagai 'solusi' atas seluruh persoalan hidup, termasuk persoalan antar sesama. Kejahatan tidak boleh dibalas dengan kejahatan sebab masing-masing orang diciptakan serupa dengan Allah dan 'diwajibkan' hidup seperti Allah, yakni kudus dan berbuat kasih. Ini tak lain adalah menjadi sempurna, sama seperti Bapa yang di sorga sempurna adanya (Mat. 5:48).

Pax Domini, sit semper vobiscum.

Sabtu, 18 Februari 2017

Transfigurasi

Ini adalah salah satu peristiwa yang terjadi pada Yesus ketika Petrus, Yakobus, dan Yohanes bersama-Nya di atas gunung (mungkin gunung Tabor di Nazareth) melihat-Nya diliputi cahaya kemuliaan dan berada bersama Musa dan Elia (Mat. 17:1-9; Mrk. 9:2-10; Luk. 9:28-36; 2Ptr. 1:16-19). Sebagai wakil hukum dan nabi-nabi, Musa dan Elia sudah melihat kemuliaan Allah (Kel. 24:12-18; 33:7-23; 34:29-35; 1Raj. 19:1-18). Dalam mistisisme Timur “cahaya Tabor” mempunyai arti sama dengan pengalaman akan Allah yang paling dalam, yang seutuhnya mengubah diri kita sesudah pendakian gunung yang berat (askese kita). Namun, yang paling penting bukanlah usaha yang mau tidak mau harus dilakukan, melainkan kemuliaan yang semakin besar yang menjadi titik kita kalau kita membiarkan Allah mengubah diri kita (2Kor. 3:18) [Gerald O’Collins, SJ & Edward G. Farrugia, SJ].

Beberapa tahun sesudah Yesus naik ke sorga, Petrus, Sang Batu Karang, yang menjadi bagian dari Peristiwa transfigurasi ini, memberi kesaksian demikian: “Kami menyaksikan, bagaimana Ia menerima kehormatan dan kemuliaan dari Allah Bapa, ketika datang kepadaNya suara dari Yang Mahamulia, yang mengatakan: Inilah Anak yang Kukasihi, kepadaNyalah Aku berkenan. Suara itu kami dengar datang dari sorga, ketika kami bersama-sama Dia di atas gunung yang kudus” (2Ptr. 1:17-18).


Catatan para penginjil (Matius, Markus, Lukas) dan kesaksian rasul Petrus menambah wawasan orang-orang Kristen awal, menguatkan hati mereka supaya teguh berdiri di tengah badai kesenangan duniawi. Bagaimana tidak, sebelum naik ke gunung Tabor, Yesus memberitahukan kepada para rasul tentang masa depanNya yang suram; bahwa Ia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala, dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari (Mrk. 98:31). Namun, sesudah peristiwa transfigurasi ini, ketika turun dari gunung itu, ketiga rasul itu menjadi bingung dan bertanya-tanya tentang pesan Yesus kepada mereka, yaitu supaya tidak menceritakan peristiwa itu kepada seorangpun, sebelum Anak Manusia bangkit dari antara orang mati. Maka mereka mempersoalkan: “apa yang dimaksud dengan bangkit dari antara orang mati.” Rupa-rupanya, kebangkitan Yesus kelak memiliki hubungan yang istimewa dengan peristiwa transfigurasi. Peristiwa ini lalu dirahasiakan dan menjadi suatu kenangan manis untuk ketiga rasul itu.

Peristiwa ini menurut Matius, memperlihatkan Yesus sebagai Musa baru (bdk. Mat. 17:1 dst), sedangkan Lukas menonjilkannya sebagai persiapan untuk penderitaan Yesus (bdk. Luk. 9:28 dst). Tetapi Markus terutama mengartikan peristiwa ini sebagai penyataan Mesias yang mulia, walaupun Mesias masih tersembunyi. Pengertian ini sesuai dengan pandangan Markus dalam seluruh injilnya. Meskipun hanya berlangsung sebentar, peristiwa ini menyatakan siapa sesungguhnya Yesus yang untuk sementara waktu perlu mengalami perendahan “Hamba Tuhan” yang menderita. Tidak lama lagi sepenuh-penuhnya dan untuk selama-lamanya akan dinyatakan siapa Yesus (Kitab Suci Katolik). Minimal, bagi seorang Petrus, pernyataan Yang Mahamulia kepada Yesus sungguh-sungguh terbukti; bahwa Yesuslah Musa dan Elia yang baru, yang sesudah kebangkitanNya naik ke sorga. Ingat, kebangkitan Yesus menambah dalam diri para rasul, menguatkan iman mereka kepada Yesus bahwa Dialah Tuhan, Anak yang dikasihi Bapa, yang kepadaNya Bapa berkenan.

Dan memang benar, peristiwa transfigurasi ini memiliki posisi dan hubungan yang khas dengan penderitaan, kematian dan kebangkitan Yesus. Peristiwa ini menguatkan para rasul untuk teguh memandang Yesus saat penderitaan itu tiba, tetapi sekaligus mengokohkan iman mereka tatkala memandang Yesus yang tersalibkan. Sementara, kebangkitan menyempurnakan pengalaman mereka denganNya supaya mereka dengan bebas dan berani mewartakanNya ke seluruh dunia. “Engkau dimuliakan di atas gunung, dan sejauh mereka mampu untuk itu, murid murid-Mu memandang kemuliaan-Mu, Kristus Allah, supaya apabila memandang Engkau yang tersalib, mereka mengerti bahwa kesengsaraan-Mu adalah sukarela, dan dengan demikian mereka menyampaikan kepada dunia bahwa Engkau sesungguhnya cahaya Bapa” (Liturgi Bisantin, Kontakion pada pesta “Yesus Menampakkan Kemuliaan-Nya”).

† Pax Domini, sit semper vobiscum †

Senin, 13 Februari 2017

"Cinta atau Benci untuk AHOK-DJAROT?"


Siapa yang tak kenal Ahok, lelaki keturunan Tionghoa itu, atau Djarot pasangan Ahok di PilGub DKI Jakarta? Dari Sabang sampai Merauke pasti banyak yang mengenal dua orang ini. Betapa fenomenal dan kental dua orang ini di jagat Indonesia saat ini. Perbincangan demi perbincangan di dunia nyata dan maya kerap kali melibatkan mereka, malahan tak tertahankan. Bahkan di belahan dunia lain di luar Indonesia pun ditemukan perbincangan istimewa sekitar dua sosok ini. Semakin tersohor memang, itu tidak diragukan lagi.

Ya, banyak yang mengenal keduanya tapi ada perbedaan dalam pengenalan itu. Ada yang mengenal karena mencintai lalu terus mencintai, ada pula yang mengenal untuk membenci karena terlalu dicintai. Beda kan? Jangan heran kalau banyak cinta lahir untuk mereka. Jangan pula heran kalau banyak benci menghampiri mereka. Cinta dan benci merupakan dua sisi yang berlainan layaknya satu logam mata uang, bertolak belakang dan tidak berhadapan.

Lima tahun terakhir ini Jakarta seperti baru lahir, bukan suatu reinkarnasi melainkan suatu dominasi demokrasi. Dari rakyat untuk rakyat, begitulah kura-kura. Pemimpin idaman sekaligus pencekal kematian yang selama ini bercokol di Ibu Kota Indonesia, Jakarta. Ini harapan rakyat yang sudah dibuktikan, sehingga Jakarta boleh menjadi model dan patokan bagi daerah lain di Indonesia.

Siapa pemimpin itu? Ahok! Siapa pendampingnya? Djarot! Mereka kompak menciptakan Jakarta baru, bukan tinggal mati di tempat. Ingin mereka memimpin lima tahun lagi? Pilih dua orang ini supaya Jakarta semakin baru. Ingat, Jakarta sudah baru tapi "pekerjaan belum selesai." Karenanya, lima tahun kemarin bukanlah waktu yang cukup, sekarang tambah lima tahun lagi, berikan mereka kesempatan dan kamu akan tahu bagaimana Jakarta kelak. Sudah pasti lebih dari sekedar baru.

Sekarang, mengapa dan dari sisi mana orang memandang mereka sebagai nomor satunya Jakarta.

Mengapa memilih Ahok-Djarot? Memilih Ahok-Djarot untuk DKI Jakarta pertama-tama bukan karena mereka ada di antara pilihan, tapi karena Ahok-Djarotlah yang memahami Jakarta dan kebutuhannya. Pilihan ini berdasarkan bukti, bukan hafalan konsep dan retorika kosong. Mereka berkonsep, beretorika dan membuktikan; ada nilainya, bukan tetap kosong. Ini yang benar, maka menentukan pilihan pun harus pada yang terbukti dan benar. Bukankah kebenaran itu ditemukan dalam keselarasan kata dan perbuatan? Jangan ragu memilih yang terbukti benar. Jadi, mengapa memilih Ahok-Djarot? Karena mereka pemimpin benar untuk Jakarta yang benar.

Dari sisi mana memilih Ahok-Djarot? Moralitas yang teruji! Belakangan, sebagian orang mencela Ahok: kata-katanya tidak sopan, kasar dan suka marah-marah. Amat manusiawilah itu, tapi jangan lupa ada asap karena ada api? Lah kalau begitu, di mana moralitasnya? Moralitasnya ada pada komitmen untuk tidak berteman dengan kejahatan. Anda tahu sendirilah kejahatan seperti apa yang sering dillakokan para penguasa politik. Dan, untuk kejahatan perlu sikap tidak sopan, untuk kejahatan perlu kasar, untuk kejahatan perlu marah-marah. Gaya blak-blakan kadang digunakan sebagai 'strategi' untuk memerangi kejahatan.

Akhirnya, mengapa harus memberi cinta kepada Ahok-Djarot? Ingat, sumber dan tujuan keberadaan manusia adalah cinta. Maka mencintai kebenaran adalah hal yang mutlak perlu. Sementara membenci kebenaran adalah kekeliruan terbesar sepanjang hidup. Kalau ada yang membenci dua orang ini, itu karena mereka terlalu dicintai. Dan kalau banyak yang mencintai dua orang ini, itu karena orang-orang tidak mau berkecimpung dalam kekeliruan. Mereka yakin kekeliruan hanya membawa kehancuran, sedangkan cinta membawa hidup kepada kesempurnaan. Di dalamnya ada kebenaran dan kebenaran itu yang memerdekakan. (Engga Condios, simpatisan Ahok-Djarot).

Minggu, 12 Februari 2017

Indonesiakanlah bangsaku

Orang Katolik,


"Ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu. Perhatikanlah akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka. Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya"(Ibr 13:7-8).

Untuk menghargai dan menjunjung tinggi toleransi, kerukunan dan kebhinekaan di negara ini, butuh perhatian kepada para pemimpin kita, Hierarki, yang selalu mengajarkan cinta kasih Kristus kepadamu. Mereka tidak pernah mengajarkan tentang perpecahan atau menabur kebencian melainkan menempatkan Kristus di dalam dirimu.

Hierarki Gereja adalah corong perdamaian, pelayan sekaligus pengusung persatuan. Titik tolaknya adalah cinta kasih Kristus. Kita boleh mencintai iman Katolik secara radikal, tetapi tidak boleh membenci sesama. Justru ketika kita mendengarkan dan menerima Kristus dari Hierarki dalam Gereja, kita dituntut untuk mengasihi sesama, siapa pun dia.

Universalitas kita sebagai Gereja yang didirikan Kristus menyentuh semua aspek kehidupan, mulai sejak lahir sampai mati, dalam untung dan malang, dan di mana saja. Maka jalinlah persaudaraan dengan siapa saja tanpa pilih kasih, usahakanlah perdamaian dan kesatuan. Ini dimulai dari kewajiban kita mendengarkan dan mengikuti Kristus melalui Hierarki Gereja.

In te Domine speravi, non confundar in aeternum.

Jika ya, katakan ya, jika tidak, katakan tidak

Matius 5:37 “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak! Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.”

#jika #ya … Ini sebuah ucapan terkenal, bdk. 2Kor. 1:17 (Jadi, adakah aku bertindak serampangan dalam merencanakan hal ini? Atau adakah aku membuat rencanaku sendiri, sehingga padaku serentak terdapat ya dan tidak?); Yak. 5:12 (Tetapi yang terutama, saudara-saudara, janganlah kamu bersumpah demi sorga maupun demi bumi atau demi sesuatu yang lain. Jika ya, hendaklah kamu katakana ya, jika tidak hendaklah kamu katakan tidak, supaya kamu jangan kena hukuman), dan ini dapat diartikan dengan berbagai cara:

1)      #Berkata #benar: kalau ya, hendaklah berkata ya, kalau tidak hendaklah berkata tidak;
2)      #Jujur: ya (atau tidak) yang diucapkan hendaknya sesuai dengan maksud dalam hati;
3)    Suatu ucapan meriah: mengulang ya atau tidak sudah cukup; tidak perlu orang masih angkat sumpah demi Allah.

#jika #ya … dalam Bil. 30:2 (Apabila seorang laki-laki bernazar atau bersumpah kepada TUHAN, sehingga ia mengikat dirinya kepada suatu janji, maka janganlah ia melanggar perkataannya itu; haruslah ia berbuat tepat seperti yang diucapkannya) dan Ul. 23:21 (Apabila engkau bernazar kepada TUHAN, Allahmu, janganlah engkau menunda-nunda memenuhinya, sebab tentulah TUHAN, Allahmu, akan menuntutnya dari padamu, sehingga hal itu menjadi dosa bagimu). Ini adalah firman yang disampaikan kepada bangsa Israel kala itu. Bahwa setiap kata atau sumpah atau janji hendaklah sesuai dengan yang keluar dari mulut, kalau tidak maka itu menjadi suatu kepalsuan. Lagi pula, hal itu mesti diwujudkan pada waktunya.

Dasarnya ada pada Sepuluh Perintah Allah, Kel. 20:16 (Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu). Larangan untuk mengucapkan kesaksian palsu atau pun dusta, diperluas dengan kewajiban untuk menepati sumpah yang telah diucapkan. Demikianlah kata-kata seseorang haruslah dapat dipercaya tanpa “embel-embel” atau tambahan apa pun untuk membuat kata-kata itu dianggap sah. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat. Kesesuaian kata-kata yang menjadi sumpah amat perlu dipraktekkan di sini!


Kepada nenek moyang Israel, difirmankan, “Jangan bersumpah palsu, melainkan peganglah sumpahmu di depan Tuhan.” Namun Yesus menggarisbawahi ini dengan berkata “janganlah sekali-kali bersumpah….” Ia mengajarkan bahwa setiap sumpah melibatkan Allah dan bahwa kehadiran Allah dan kebenaranNya di dalam tiap perkataan harus dipegang dengan hormat. Hanya dengan penuh kesadaran menggunakan kata “Allah” dalam pembicaraan, itulah yang sesuai dengan penghormatan kepada kehadiranNya, yang disesuaikan atau diperolok oleh tiap ungkapan ktia. Tradisi Gereja mengartikan perkataan Yesus demikian bahwa ia tidak melarang sumpah, kalau itu menyangkut satu masalah yang berat dan benar (umpamanya di depan pengadilan). “Sumpah, ialah menyerukan nama Allah selaku saksi kebenaran, hanya boleh diucapkan dalam kebenaran, kebijaksanaan dan keadilan” [bdk. 2Kor. 1:23; Gal. 1:20], (KGK 2153, 2154).

#jika #ya, katakan ya, itu adalah kebenaran. #jika #ya, katakan ya, itu adalah kejujuran. Atau pun sebaliknya, jika tidak, katakan tidak, itu adalah kebenaran, jika tidak, katakan tidak, itu adalah kejujuran. Ada harapan akan kebenaran dan kejujuran yang datang dari nurani kita. Yesus mengorek inti kehidupan ini, yaitu hati dan pikiran manusia sebagai ‘instrumen’ kebenaran dan kebajikan. Sebab bukan dusta dan kepalsuan yang diinginkanNya. Bila hati dan pikiran sudah mantap, kebenaran akan lahir dengan sendirinya. Tidak usah sembarangan bersumpah, tetapi usahakan dan perjuangkan kesucian hati dan pikiran dengan menempatkan Yesus sebagai dasar dari hidup ini.

In te Domine speravi, non confundar in aeternum.
(Pict: More Sky)

Selasa, 07 Februari 2017

Kita Bukanlah Pengecut

Adalah dua pemuda gagah meluangkan waktu pagi untuk membersihkan pekarangan rumah, menyapu dan merapikan halaman. Dedaunan yang berserakan dikumpulkan dengan 'sapu lidi' pada tangan mereka. Bermodalkan dedikasi, mereka mengumpulkan dedaunan itu namun angin datang meniup dan menghamburkan apa yang telah dikumpulkan dengan susah payah. Kebetulan sedang musimnya angin bertiup. Dengan senyum manis, mereka mengumpulkan lagi, tanpa keberatan.


Dalam banyak kesempatan, apa yang kita harapkan, ketika sudah diwujudkan dengan cinta dan pengorbanan besar, tiba-tiba lenyap begita saja, tanpa kita merasakan buahnya terlebih dahulu. Perkawinan atau cita rasa kekeluargaan yang terbangun selama ini, karena satu dan lain hal, runtuh seketika. Bisa jadi karena amarah dan dendam yang berlebihan yang mengobrak-abrik. Tidak diduga sebelumnya akan terjadi seperti itu. Atau, persahabatan dan pertemanan ambruk dalam sekejap karena iri hati dan kedengkian.

Tidak ada jalan lain selain harus membangun kembali semua itu. Lari dari persoalan adalah sikap pengecut. Mesti dengan senyum manis mengumpulkan kembali, supaya pekerjaan atau persoalan tidak tertunda, sehingga keadaan tidak tetap kotor. Kuncinya ialah berdamai dengan diri sendiri, rendah hati, supaya apabila masalah datang tanpa diundang, orang masih gagah berdiri dan menyelesaikannya dengan berani. Sebab tidak mungkin kita tetap berada dalam masalah. Kerendahan hati kiranya merupakan fondasi utama membangun hidup di bumi ini.

#pejuangkecil
(Pict: malesbanget.com)