Situasi sudah "memanas" sehingga Yesus harus melakukan penyingkiran bersama murid-muridNya. Banyak orang Galilea telah mengetahui siapa Yesus. Namun pengetahuan terbatas pada unsur kepuasan raga belaka, dan ujungnya, mereka ingin agar Yesus menjadi raja atas mereka. Maka, penyingkiran Yesus kali ini tidak boleh diketahui oleh orang-orang Galilea. Dengan demikian, pengajaranNya terpusat hanya kepada para muridNya. Ketahuilah, isi dan inti pengajaran Yesus ialah peristiwa wafat dan kebangkitanNya kelak. Ini sekaligus menjadi berita kedua dari Yesus sendiri yang perlu didengar dan dipahami oleh para muridNya (Mrk. 9:30-32), sama halnya dengan berita pertama (Mrk. 8:31-9:1). Pemberitaan ini akan menjadi 'pencobaan' bagi murid-muridNya di kemudian hari.
Betapa penting berita wafat dan kebangkitanNya itu sehingga Yesus harus memusatkan perhatian dan pengajaranNya kepada para muridNya tanpa kehadiran orang lain. Bahkan Ia rela memberitahukan itu sebanyak tiga kali dan mengajarkan dengan maksud yang sama: "Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia, dan mereka akan membunuh Dia, dan tiga hari sesudah Ia dibunuh Ia akan bangkit" (Mrk. 8:31, 9:31, 10:33). Tidak lama lagi, pencobaan ini akan terjadi, karena itu para murid harus memahaminya dan tidak boleh takut menghadapinya. Merekalah yang 'wajib' memahami dan mengimani misteri Allah melalui hidup, wafat dan kebangkitan Yesus, bukan seperti orang banyak di Galilea.
Meski Yesus sudah dua kali mengajarkan kepada mereka, para murid tetap belum memahami: "Mereka tidak mengerti perkataan itu, namun segan menanyakannya kepadaNya" (Mrk. 9:32). Sepertinya, berita ini kurang mendapat tempat dalam hati para murid sehingga segan dan tidak bertanya sama sekali. Akibatnya, di tengah jalan ke Kapernaum, para murid mempersoalkan status dan kedudukan masing-masing mereka di dalam Kristus kelak. Jelas, pikiran mereka masih sama seperti orang banyak di Galilea, yang ingin mengangkat Yesus sebagai raja karena merasa dipuaskan oleh mukjizat-mukjizat yang dilakukan Yesus. Padahal, sasarannya adalah Kerajaan Sorga. Maka pikiran dan diskusi para murid di tengah jalan untuk menjadi yang terbesar dalam Kerajaan Sorga (Mrk. 9:34) tidak dibenarkan oleh Yesus. Sebaliknya, Yesus mengungkapkan paradoks ini sebagai jalan untuk memahami status masing-masing orang dalam Kerajaan Sorga: "Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya" (Mrk. 9:35).
Paradoks di atas tidaklah mudah untuk dilakukan. Kemudian dari pada itu, Yesus menempatkan seorang anak kecil yang pastinya memiliki kelembutan, kepolosan, tidak terbuai dengan jabatan duniawi seperti para murid itu. Bahkan, lebih dalam dari itu, tiap-tiap orang harus rela melayani sampai yang paling kecil dan hina dengan modal kerendahan hati yang besar. Ternyata, berita tentang kematian dan kebangkitan Yesus menyentuh aspek dan nilai-nilai surgawi, yaitu merendahkan diri dan menjadi pelayan. Orang harus mematikan keinginan dirinya dan melayani semua orang (mulai dari yang paling kecil dan hina-dina) untuk bangkit bersama Yesus menuju Bapa. Untuk itulah, para murid harus berani mengalami kematian Yesus seraya menumbuhkan semangat yang rela dan mengorbankan diri seutuhnya dengan menolak keinginan duniwai sebagaimana orang-orang Galilea pada umumnya dan mereka sendiri pada khususnya. Dengan begini kebangkitan Yesus menjadi pewartaan yang menghidupkan karena kerelaan mereka untuk menderita demi Yesus, dan dengan itu pula Bapa tetap disambut dalam nama Yesus. (Pict: Iman Katolik).
Pax Domin, sit semper vobiscum.