Minggu, 22 Januari 2017

Dosa besar orang Kristen (Gereja) adalah Perpecahan

Sekedar menguliti perkataan Romo Skia Mangsombe saat khotbah hari ini di gereja, dalam perayaan Ekaristi Mahakudus. Di sela-sela khotbahnya, Romo menegaskan ini: “Ingat, dosa besar orang Kristen adalah Perpecahan.” Saya mengakui ini sebagai kebenaran, sebab memang orang Kristen hingga hari ini terpecah belah. Saya menduga, Romo menuturkan ini berdasarkan bacaan Kitab Suci yang disediakan Gereja untuk direnungkan pada hari ini, 1Kor. 1:10-13,17.


Dalam perikop ini, Rasul Paulus menggarisbawahi perpecahan yang terjadi pada jemaat kala itu. “Yang aku maksudkan ialah, bahwa kamu masing-masing berkata: Aku dari golongan Paulus. Atau aku dari golongan Apolos. Atau aku dari golongan Kefas. Atau aku dari golongan Kristus. Adakah Kristus terbagi-bagi? Adakah Paulus disalibkan karena kamu? Atau adakah kamu dibaptis dalam nama Paulus?” (1Kor. 1:12-13). Bagian akhir perikop ini, Rasul besar ini menulis: “Sebab Kristus mengutus aku bukan untuk membaptis tetapi memberitakan Injil; dan itupun bukan dengan hikmat perkataan, supaya salib Kristus jangan menjadi sia-sia” (1Kor. 1:17).

Rasul Paulus memandang penting keikutsertaan orang Kristen dalam kurban Kristus di salib (ay. 17) dalam hal bersatu denganNya. Maka Gereja mengajarkan:

Kematian di kayu salib adalah kurban yang satu kali untuk selamanya dipersembahkan Kristus, “pengantara antara Allah dan manusia” (1Tim 2:5). Tetapi karena dalam Pribadi ilahi-Nya yang menjadi manusia, “la seakan akan bersatu dengan tiap manusia” (GS 22,2) maka Ia memberikan “kemungkinan kepada semua orang, untuk bergabung dengan misteri Paskah ini, atas cara yang diketahui Allah” (GS 22,5). Yesus mengajak murid murid-Nya, untuk “memanggul salibnya” dan mengikuti Dia (Mat. 16:24), karena “Kristus pun telah menderita untuk kita dan telah meninggalkan teladan bagi kita, supaya kita mengikuti jejak-Nya” (1Ptr 2:21) [KGK 618].

Salib Kristus jangan sampai sia-sia! Kematian Kristus mempersatukan semua orang supaya diselamatkan di dalam Allah. “Dan Aku tidak ada lagi di dalam dunia, tetapi mereka masih ada di dalam dunia, dan Aku datang kepadaMu. Ya Bapa yang kudus, peliharalah mereka dalam namaMu, yaitu namaMu yang telah Engkau berikan kepadaKu, supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita” (Yoh. 17:11). Dengan ini, Yesus berdoa kepada BapaNya supaya murid-muridNya bersatu. Maka kepengantaraanNya menjadi mutlak perlu; salib, penderitaan dan kematianNya menjadi simbol baru bagi orang Kristen untuk tidak mengkotak-kotakan diri atau memecah belah persekutuan. Malahan, masing-masing orang dituntut untuk memandang Dia dan mengikuti jejakNya.

Senada dengan Yesus, Rasul Paulus tidak menghendaki perpecahan, melainkan persatuan di dalam Kristus. Gereja itu satu, kudus, katolik dan apostolik. Sifat pertama Gereja tertancap pada “batu karang” Petrus yang anti terhadap perpecahan. Setiap orang yang mengakui Petrus sebagai pemegang kunci (sebagaimana Kristus menyerahkan kunci itu kepadanya) Kerajaan Surga, maka ia menyatakan di dalam dirinya sendiri: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” (Mat. 16:16). Ini adalah pengakuan penting akan Yesus yang didorong oleh Roh Kudus untuk menyatakannya sebagai iman yang hidup dalam jemaat, Gereja Kristus. Pengakuan ini sekaligus menolak perpecahan di dalam Tubuh Kristus, sebab semua mata hanya diarahkan kepada Kristus dengan Petrus sebagai yang pertama memandang dan mengakuiNya.

Orang Katolik, tidak boleh ada perpecahan di dalam Tubuh Kristus. Perpecahan merupakan dosa besar yang menghalangi karya Allah di dunia. Kristus menghimpun kita semua supaya diperkenankan masuk Kerajaan Surga. “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” (Mat. 4:17). Pertobatan selalu berada dalam proses ini, mendengar suara Kristus dan mengikuti ajakanNya: “Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan kujadikan penjala manusia” (Mat. 4:19). Pertobatan inilah yang mengikis perpecahan di dalam Tubuh Kristus, GerejaNya. Yesus menunjuk dunia sebagai tempat kita berada sebab kita memang masih berada di dalam dunia. Maka keberadaan kita di sini hendaklah dihayati dalam kesatuan sebagai Tubuh Kristus yang hidup. Dengan cara ini, perpecahan ditiadakan, sementara Allah tetap dimuliakan berkat Kristus yang mati untuk kita semua.

In te Domine speravi, non confundar in aeternum.